Diundangkan tanggal 2 Januari 2023 dan mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP)
DATA PERATURAN
Detail Peraturan | |
---|---|
Jenis | Undang – Undang |
Nomor | 1 |
Tahun | 2023 |
Tentang | Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) |
Disahkan tanggal | 2 Januari 2023 |
Diundangkan tanggal | 2 Januari 2023 |
Lembaran Negara | Tahun 2023 Nomor 1 |
Status | Mulai Berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan |
Mencabut | Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) dan beberapa pasal dalam Undang – Undang Lain |
Catatan Penting | Beberapa ketentuan peralihan dan ketentuan penutup yang wajib dipahami dan dimengerti, khususnya bagi para penegak hukum dalam penanganan perkara. |
Download file | Klik Disini |
LATAR BELAKANG LAHIRNYA UNDANG – UNDANG INI
Bahwa untuk mewujudkan hukum pidana nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa, perlu disusun hukum pidana nasional untuk mengganti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan pemerintah kolonial Hindia Belanda;
Bahwa hukum pidana nasional tersebut harus disesuaikan dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang bertujuan menghormati dan rnenjunjung tinggi hak asasi manusia, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam perrnusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
Bahwa materi hukum pidana nasional juga harus mengatur keseimbangan antara kepentingan umum atau negara dan kepentingan individu, antara pelindungan terhadap pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana, antara unsur perbuatan dan sikap batin, antara kepastian hukum dan keadilan, antara hukum tertulis dan hukum yang hidup dalam masyarakat, antara nilai nasional dan nilai universal, serta antara hak asasi manusia dan kewajiban asasi manusia;
Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut diatas perlu membentuk Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukurn Pidana.
UNDANG – UNDANG LAIN YANG DICABUT DAN DINYATAKAN TIDAK BERLAKU
Beberapa Undang – Undang lain dan beberapa pasal dalam Undang – Undang lain, yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, diantaranya adalah :
Pasal 622 huruf | Undang – Undang Lain yang dicabut dan dinyatakann tidak berlaku oleh Undang – Undang ini | Pengacuan ke dalam UU ini (secara berurutan) |
---|---|---|
a | Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana | |
b | Pasal 5 ayat (3) huruf b dan huruf c Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan Pengadilan Sipil | |
c | Pasal 1 dan Pasal 2 Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Mengubah ” Ordonnantie Tijdelijke Byzondere Strafbepalingen” (Stbl. 1948 No. 17) dan Undang-Undang R.I. Dahulu NR 8 Tahun 1948 | Pasal 306 dan Pasal 307 |
d | Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana | |
e | Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1960 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana | |
f | Undang-Undang Nomor 16 Prp. Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana | |
g | Undang-Undang Nomor 18 Prp. Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan dalam Ketentuan Pidana Lainnya yang Dikeluarkan Sebelum Tanggal 17 Agustus 1945 | |
h | Pasal 4 Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama | Pasal 300 dan Pasal 302 ayat (1) |
i | Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian | |
j | Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan | |
k | Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara | |
l | Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 5, Pasal 11, dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi | Pasal 603, Pasal 604, Pasal 605, Pasal 606 ayat (2), Pasal 606 ayat (1) |
m | Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 36 sampai dengan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia | Pasal 598, Pasal 599 |
n | Pasal 81 ayat (l) dan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang | Pasal 473 ayat (4) |
o | Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang | Pasal 600 dan Pasal 601 |
p | Pasal 69 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional | Pasal 272 ayat (2) |
q | Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2l Tal:run 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang | Pasal 455 |
r | Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2), Pasal 30, Pasal 31 ayat (l), Pasal 31 ayat (2), Pasal 36, Pasal 45 ayat (1), Pasal 45 ayat (3), Pasal 45A ayat (2), Pasal 46, Pasal 47, dan Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik | Pasal 407, Pasal 441, Pasal 243, Pasal 332 dan Pasal 258 ayat (2) |
s | Pasal 15 dan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis | Pasal 244 dan Pasal 245 |
t | Pasal 29 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi | Pasal 407 ayat (1) |
u | Pasal 66 sampai dengan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu | Pasal 234, Pasal 235, Pasal 236, Pasal 237, Pasal 238 dan Pasal 239 |
v | Pasal 192, Pasal 194, dan Pasal 195 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja | Pasal 345 huruf a, Pasal 463, Pasal 464, Pasal 46 dan Pasal 345 huruf b |
w | Pasal 111 sampai dengan Pasal 126 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja | Pasal 609 ayat (1) huruf a, Pasal 609 ayat (2) huruf a, Pasal 610 ayat (1) huruf a, Pasal 610 ayat (2) huruf a, Pasal 609 ayat (1) huruf b, Pasal 609 ayat (2) huruf b, Pasal 610 ayat (1) huruf b, Pasal 610 ayat (2) huruf b, Pasal 609 ayat (1) huruf c, Pasal 609 ayat (2) huruf c, Pasal 610 ayat (1) huruf c, Pasal 610 ayat (2) huruf c, |
x | Pasal 2 ayat (l), Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang | Pasal 607 ayat (2), Pasal 607 ayat (1) huruf a, Pasal 607 ayat (1) huruf b, Pasal 607 ayat (1) huruf c, Pasal 608. |
y | Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 126 huruf e Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2O11 tentang Keimigrasian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja | Pasal 457, Pasal 398 ayat (1) |
z | Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang | Pasal 374, Pasal 375 huruf b, Pasal 375 huruf a, Pasal 375 huruf b. |
aa | Pasal 136 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja | Pasal 504 |
bb | Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme | Pasal 602 |
cc | Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 41 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban | Pasal 295, Pasal 296, Pasal 297 dan Pasal 299 |
KETENTUAN PERALIHAN
Ketentuan Peralihan dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) sangat penting dipelajari, mengingat dalam ketentuan peralihan tersebut tersirat hukum acara pidana sebagai regulasi dalam pelaksananaan Undang – Undang ini. Ketentuan Peralihan dalam Undang – Undang ini, diantaranya menyebutkan :
Pasal dalam UU ini | Ketentuan Peralihan yang tersirat sebagai hukum acara pidana |
---|---|
Pasal 613 | Setiap Undang-Undang dan Peraturan Daerah yang memuat ketentuan pidana harus menyesuaikan dengan ketentuan Buku Kesatu Undang – Undang ini. Ketentuan mengenai penyesuaian ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Undang-Undang Penjelasan Pasal 613 : Dalam ketentuan ini, penyesuaian ketentuan pidana tidak termasuk bagi ancarnan pidana denda yang diatur dalam Undang-Undang pidana administratif. |
Pasal 614 huruf a | Istilah kejahatan dan pelanggaran yang digunakan dalam Undang-Undang di luar Undang-Undang ini dan Peraturan Daerah diganti menjadi Tindak Pidana |
Pasal 614 huruf b | Istilah badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, yayasan, perkumpulan, koperasi, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa, atau yang disamakan dengan itu, maupun perkumpulan yang tidak berbadan hokum atau badan usaha yang berbentuk firma, persekutuan komanditer, atau yang disamakan dengan itu yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di luar Undang-Undang ini disamakan dengan Korporasi sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini |
Pasal 614 huruf c | Istilah benda berwujud atau tidak berwujud, benda bergerak atau tidak bergerak termasuk air dan uang giral, aliran listrik, gas, data dan program Komputer yang diatur dalam Undang-Undang di luar Undang-Undang ini disamakan dengan Barang sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini |
Pasal 614 huruf d | Istilah pegawai negeri, aparatur sipil negara, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, anggota Tentara Nasional Indonesia, pejabat negara, pejabat publik, pejabat daerah, orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah, orang yang menerima gaji atau upah dari Korporasi yang seluruh atau sebagian besar modalnya milik negara atau daerah, atau pejabat lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di luar Undang-Undang ini dan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 merupakan Pejabat sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini |
Pasal 615 ayat (1) | Pidana kurungan dalam Undang-Undang lain di luar Undang-Undang ini dan Peraturan Daerah diganti menjadi pidana denda dengan ketentuan: a. pidana kurungan kurang dari 6 (enam) Bulan diganti dengan pidana denda paling banyak kategori I. b. pidana kurungan 6 (enam) Bulan atau lebih diganti dengan pidana denda paling banyak kategori II. |
Pasal 615 ayat (2) | Dalam hal pidana denda yang diancamkan secara alternatif dengan pidana kurungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melebihi kategori II, tetap berlaku ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut |
Pasal 616 | Undang-Undang lain di luar Undang-Undang ini yang menetapkan pidana denda yang melebihi jumlah kategori VIII diganti dengan pidana denda kategori VIII |
Pasal 617 | Jika ketentuan pidana dalam Undang-Undang di luar Undang-Undang ini menunjuk pada pasal-pasal tertentu yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang diberlakukan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, disesuaikan dengan perubahan yang ada dalam UndangUndang ini |
Pasal 618 | Tindak Pidana yang sedang dalam proses peradilan menggunakan ketentuan Undang-Undang ini, kecuali Undang-Undang yang mengatur Tindak Pidana tersebut lebih menguntungkan bagi tersangka atau terdakwa |
Pasal 619 | Pidana tutupan tetap dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan sampai dibentuknya Undang-Undang mengenai pidana tutupan yang baru |
Pasal 620 | Ketentuan dalam Bab tentang Tindak Pidana Khusus dalam Undang-Undang ini dilaksanakan oleh lembaga penegak hokum berdasarkan tugas dan kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang masing-masing Penjelasan Pasal 620 : Yang dimaksud dengan “lembaga penegak hukum” misalnya, lembaga yang menyelenggarakan pemberantasan Tindak Pidana narkotika, selain menangani Tindak Pidana narkotika yang diatur dalam Undang-Undang mengenai narkotika, juga. menangani Tindak Pidana narkotika yang diatur dalam Undang-Undang ini. Demikian juga lembaga yang menyelenggarakan pemberantasan Tindak Pidana korupsi, selain menangani Tindak Pidana korupsi yang diatur dalam Undarrg-Undang mengenai pemberantasan Tindak Pidana korupsi, juga menangani Tindak Pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang ini. |
PENJELASAN UMUM
Penyusunan Undang-Undang ini dimaksudkan untuk menggantikan Wetboek van Strafrecht atau yang disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagaimana ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang telah beberapa kali diubah. Penggantian tersebut merupakan salah satu usaha dalam rangka pembangunan hukum nasional. Usaha tersebut dilakukan secara terarah, terpadu, dan terencana sehingga dapat mendukung pembangunan nasional di berbagai bidang sesuai dengan tuntutan pembangunan serta tingkat kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat.
Dalam perkembangannya, pembaruan Undang-Undang ini yang diarahkan kepada misi tunggal yang mengandung makna “dekolonialisasi” Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam bentuk “rekodifikasi“, dalam perjalanan sejarah bangsa pada akhirnya juga mengandung berbagai misi yang lebih luas sehubungan dengan perkembangan, baik nasional maupun intemasional. Adapun misi kedua adalah misi “demokratisasi hukum pidana“. Misi ketiga adalah misi “konsolidasi hukum pidana” karena sejak kemerdekaan, perundang – undangan hukum pidana mengalami perkembangan yang pesat, baik di dalam maupun di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan berbagai kekhasannya, sehingga perlu ditata kembali dalam kerangka asas-asas hukum pidana yang diatur dalam Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Di samping itu, penyusunan Undang-Undang ini dilakukan atas dasar misi keempat, yaitu misi adaptasi dan harmonisasi terhadap berbagai perkembangan hukum yang terjadi, baik sebagai akibat perkembangan di bidang ilmu hukum pidana maupun perkembangan nilai-nilai, standar, dan norma yang diakui oleh bangsa – bangsa di dunia internasional.
Misi tersebut diletakkan dalam kerangka politik hukum dengan melakukan penyusunan Undang-Undang ini dalam bentuk kodilikasi dan unifikasi yang dimaksudkan untuk menciptakan dan menegakkan konsistensi, keadilan, kebenaran, ketertiban, kemanfaatan, dan kepastian hukum dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan nasional, kepentingan masyarakat, dan kepentingan individu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Setelah menelusuri sejarah hukum pidana di Indonesia, diketahui bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie (Staatsblad l9l5: 7321. Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Wetboek uan Strafrecht tersebut masih berlaku berdasarkan Pasal I Aturan Peralihan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Negara Republik Indonesia II Nomor 91, Wetboek van Strafirecht voor Nederlandsch-Indie disebut sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan dinyatakan berlaku untuk pulau Jawa dan Madura, sedangkan untuk daerah lain akan ditetapkan kemudian oleh Presiden. Usaha untuk mewujudkan adanya kesatuan hukum pidana untuk seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia itu, secara de facto belum dapat terwujud karena terdapat daerah pendudukan Belanda sebagai akibat aksi militer Belanda I dan II yang untuk daerah tersebut masih berlaku Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie (Staatsblad, 1915: 7321 dengan segala perubahannya. Sejak saat itu, dapat dikatakan bahwa setelah kemerdekaan tahun 1945 terdapat dualisme hukum pidana yang berlaku di Indonesia dan keadaan itu berlangsung hingga tahun 1958 dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958. Undang-Undang tersebut menetapkan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dengan semua perubahan dan tambahannya berlaku untuk seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, berlakulah hukum pidana materiil yang seragam untuk seluruh Indonesia yang bersumber pada hukum yang berlaku pada tanggal 8 Maret 1942, yaitu Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie yang untuk selanjutnya disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sejak Indonesia merdeka telah banyak dilakukan usaha untuk menyesuaikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan kolonial tersebut sesuai dengan perkembangan kehidupan sosial lainnya, baik nasional maupun internasional. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah beberapa kali mengalami pembaruan atau perubahan, antara lain :
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Negara Republik Indonesia II Nomor 9);
- Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tarnbahan lcmbaran Negara Nomor 1660);
- Undang-Undang Nomor I Tahun 1960 tentang Perubahan Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, yang menaikkan ancaman hukuman dalam Pasal 359, Pasal 360, dan Pasal 188 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Undang-Undang Nomor 16 Prp. Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1976) yang mengubah frasa “uijf en twintig gulden” dalam Pasal 364, Pasal 373, Pasal 379, Pasal 384, dan Pasal 407 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menjadi frasa “dua ratus lima puluh rupiah”;
- Undang-Undang Nomor 18 Prp. Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan dalam Ketentuan Pidana Lainnya yang Dikeluarkan Sebelum Tanggal 17 Agustus 1945 (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 52, Tambahan kmbaran Negara Nomor 1978);
- Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan atau Penodaan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 27261, yang antara lain telah menambahkan ketentuan Pasal 156a ke dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 197 4 ter:tang Penertiban Perjudian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3040), yang mengubah ancaman pidana dalam Pasal 303 ayat (1), Pasal 542 ayat (1), dan Pasal 542 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan mengubah sebutan Pasal 542 menjadi Pasal 303 bis;
- Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/ Prasarana Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3080);
- Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3850), klnususnya berkaitan dengan kriminalisasi terhadap penyebaran ajaran Marxisme dan Leninisme; dan
- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150).
Berbagi pembaruan atau perubahan tersebut belum dapat memenuhi 4 (empat) misi perubahan mendasar yang telah diuraikan di atas yakni, dekolonialisasi, demokratisasi, konsolidasi, dan harmonisasi sehingga penyusunan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana harus dilakukan secara menyeluruh dan terkodifikasi.
BUKU KESATU
- Buku Kesatu berisi aturan umum sebagai pedoman bagi penerapan Buku Kedua serta Undang-Undang di luar Undang-Undang ini, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten / Kota, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang sehingga Buku Kesatu juga menjadi dasar bagi Undang-Undang di luar Undang-Undang ini. Pengertian istilah dalam Buku Kesatu ditempatkan dalam Bab V karena pengertian istilah tersebut tidak hanya berlaku bagi Undang-Undang ini melainkan berlaku pula bagi Undang-Undang yang bersifat lex specialis, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang. Buku Kesatu ini memuat substansi, antara lain, ruang lingkup berlakunya hukum pidana, Tindak Pidana dan pertanggungiawaban pidana, pemidanaan, pidana, diversi, dan tindakan, juga tujuan dan pedoman pemidanaan, faktor yang memperingan pidana, faktor memperberat pidana, perbarengan, serta gugurnya kewenangan penuntutan dan pelaksanaan pidana, pengertian istilah, dan aturan penutup.
- Secara keseluruhan perbedaan yang mendasar antara Wetboek van Strafrecht dan Undang-Undang ini adalah filosofi yang mendasarinya. Wetboek van Strafrecht dilandasi oleh pemikiran Aliran Klasik yang berkembang pada Abad ke-18 yang memusatkan perhatian hukum pidana pada perbuatan atau Tindak Pidana. Undang-Undang ini mendasarkan diri pada pemikiran aliran neo-klasik yang menjaga keseimbangan antara faktor objelrtif (perbuatan/lahiriah) dan faktor subjektif (orang/batiniah/sikap batin). Alian ini berkembaag pada Abad ke-19 yang memusatkan perhatiannya tidak hanya pada perbuatan atau Tindak Pidana yang terjadi, tetapi juga terhadap aspek individual pelaku Tindak Pidana. Pemikiran mendasar lain yang memengaruhi penyusunan Undang-Undang ini adalah perkembangan ilmu pengetahuan tentang Korban kejahatan (victimology) yang berkembang setelah Perang Dunia II, yang menaruh perhatian besar pada perlakuan yang adil terhadap Korban kejahatan dan penyalahgunaan Falsafah daad-dader Strafrecht dan viktimologi akan mempengaruhi perumusan 3 (tiga) permasalahan pokok dalam hukum pidana, yaitu perumusan perbuatan yang bersifat melawan hukum, pertanggungjawaban pidana atau kesalahan, dan sanksi (pidana dan tindakan) yang dapat dijatuhkan beserta asas hukum pidana yang
mendasarinya. - Karakter daad-dader strafrecht yang lebih manusiawi tersebut secara sistemik mewarnai Undang-Undang ini, antara lain, juga tersurat dan tersirat dengan adanya berbagai pengaturan yang berusaha menjaga keseimbangan antara unsur atau faktor objektif dan unsur atau faktor Hal itu, antara lain, tercermin dari berbagai pengaturan tentang tujuan pemidanaan, syarat pemidanaan, pasangan sanksi berupa pidana dan tindakan, pengembangan altematif pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek, pedoman atau aturan pemidanaan, pidana mati yang merupakan pidana yang bersifat khusus dan selalu dialtematifkan dengan penjara seumur hidup atau paling lama 20 (dua puluh) tahun, serta pengaturan batas minimum umur pertanggungjawaban pidana, pidana, dan tindakan bagi Anak.
- Pembaruan hukum pidana materiel dalam Undang-Undang ini tidak membedakan lagi antara Tindak Pidana berupa kejahatan dan pelanggaran. Untuk keduanya digunakan istilah Tindak Pidana. Dengan demikian, Undang-Undang ini hanya terdiri atas 2 (dua) Buku, yaitu Buku Kesatu tentang Aturan Umum dan Buku Kedua tentang Tindak Pidana. Adapun Buku Ketiga tentang Pelanggaran dalarn Wetboek van Strafrecht ditiadakan, tetapi substansinya secara selektif telah ditampung di dalam Buku Kedua Undang-Undang ini. Alasan penghapusan tersebut didasarkan atas kenyataan bahwa secara konseptual perbedaan antara kejahatan sebagai rechtsdelict pelanggaran sebagai wetsdelict temyata tidak dapat karena dalam perkembangannya tidak sedikit rechtsdelict dikualifikasikan sebagai pelanggaran dan sebaliknya beberapa perbuatan yang seharusnya merupakan wetsdelict dirumuskan sebagai kejahatan, hanya karena diperberat ancaman pidananya. Dalam kenyataannya terbukti bahwa persoalan berat ringannya kualitas dan dampak kejahatan dan pelanggaran juga relatif sehingga kriteria kualitatif semacam ini tidak lagi dapat dipertahankan secara konsisten. Dalam Undang-Undang ini diakui pula adanya Tindak Pidana atas dasar hukum yang hidup dalam masyarakat atau yang sebelumnya dikenal sebagai Tindak Pidana adat untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Dalam kenyataannya di beberapa. daerah di tanah air, masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis, yang hidup dan diakui sebagai hukum di daerah yang bersangkutan, yang menentukan bahwa pelanggaran atas hukum itu patut dipidana. Dalam hal ini hakim dapat menetapkan sanksi berupa pemenuhan kewajiban adat setempat yang harus dilaksanakan oleh pelaku Tindak Pidana. Hal tersebut mengandung arti bahwa standar nilai dan norrna yang hidup dalam masyarakat setempat masih tetap dilindungi agar memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat tertentu. Keadaan seperti itu tidak akan menggoyahkan dan tetap menjamin pelaksanaan asas legalitas serta larangan analogi yang dianut dalam Undang-Undang ini.
- Karena kemajuan yang terjadi dalam bidang keuangan, ekonomi, dan perdagangan, terutama di era globalisasi serta berkembangnya Tindak Pidana yang terorganisasi, baik yang bersifat domestik maupun transnasional, subjek hukum pidana tidak dapat dibatasi hanya pada manusia secara alamiah, melainkan mencakup pula Korporasi, yaitu kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Dalam hal ini Korporasi dapat dijadikan sarana untuk melakukan Tindak Pidana dan dapat pula memperoleh keuntungan dari suatu Tindak Pidana. Dengan dianutnya paham Korporasi adalah subjek Tindak Pidana, hal itu berarti bahwa Korporasi, baik sebagai badan hukum maupun bukan badan hokum dianggap mampu melakukan Tindak Pidana dan dapat dipertanggungiawabkan dalam hukum pidana. Di samping itu, masih pula pertanggungjawaban pidana dipikul bersama oleh Korporasi dan pengurusnya yang memiliki kedudukan fungsional dalam Korporasi atau hanya pengurusnya saja yang dapat dipertanggungjawabkarr dalam hukum pidana. Dengan diatumya pertanggunglawaban pidana Korporasi dalam Buku I Undang-Undang ini, pidana Korporasi yang semula hanya berlaku untuk Tindak Pidana tertentu di luar Undang-Undang ini, berlaku juga secara umum untuk Tindak Pidana lain, baik di dalam maupun di luar Undang-Undang ini. Sanksi terhadap Korporasi dapat berupa pidana, tetapi dapat pula berupa tindakan. Dalam hal ini kesalahan Korporasi diidentifikasikan dari kesalahan pengurus yang memiliki kedudukan fungsional (mempunyai kewenangan untuk mewakili Korporasi, mengambil keputusan atas nama Korporasi, dan mempunyai
kewenangan menerapkan pengawasan terhadap Korporasi) yang melakukan Tindak Pidana dengan menguntungkan Korporasi, baik sebagai pelaku maupun sebagai pembantu Tindak Pidana dalam ling[up usaha atau pekerjaan Korporasi tersebut, termasuk pengendali Korporasi, pemberi perintah, dan penerima manfaat. - Asas tiada pidana tanpa kesalahan tetap merupakan salah satu asas utama dalam hukum pidana. Namun, dalam hal tertentu sebagai pengecualian penerapan asas mutlak (strict liability) dan asas pertanggungiawaban pengganti (vicarious liability). Dalam hal pertanggungjawaban mutlak, pelaku Tindak Pidana telah dapat dipidana hanya karena telah dipenuhinya unsur Tindak Pidana perbuatan pelaku. Sedangkan dalam pertanggungjawaban pengganti, tanggung jawab pidana seseorang diperluas sampai pada tindakan bawahannya yang melakukan pekerjaan atau perbuatan untuknya atau dalam batas perintahnya.
- Dalam Undang-Undang ini diatur jenis pidana yang berupa pidana pokok, pidana tambahan, dan pidana yang bersifat kl:rusus (pidana mati) untuk Tindak Pidana tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang.
Jenis pidana pokok terdiri atas :
(1) pidana penjara;
(2) pidana tutupan;
(3) pidana pengawasan;
(4) pidana denda; dan
(5) pidana kerja sosial.
Dalam pidana pokok diatur jenis pidana baru berupa pidana pengawasan dan pidana kerja sosial. Pidana pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial perlu dikembangkan sebagai altematif dari pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek yang akan dijatuhkan oleh hakim sebab dengan pelaksanaan ketiga jenis pidana itu terpidana dapat dibantu untuk membebaskan diri dari rasa bersalah.
Demikian pula masyarakat dapat berinteraksi dan berperan serta secara aktif membantu terpidana dalam menjalankan kehidupan sosialnya secara wajar dengan melakukan hal yang bermanfaat. Urutan jenis pidana pokok tersebut menentukan berat-ringannya pidana. Hakim dapat memilih jenis pidana yang akan diiatuhkan di antara kelima jenis pidana tersebut walaupun dalam Buku Kedua Undang-Undang ini hanya dirumuskan tiga jenis pidana, yaitu pidana penjara, pidana denda, dan pidana mati. Jenis pidana tutupan, pidana pengawasan, dan pidana kerja sosial pada hakikatnya merupakan cara pelaksanaan pidana sebagai alternatif pidana penjara.
Pidana mati tidak terdapat dalam urutan jenis pidana pokok. Pidana mati ditentukan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Pidana mati adalah pidana yang paling berat dan harus selalu diancamkan secara alternatif dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pidana mati dijatuhkan dengan masa percobaan. Dalam tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan dan dapat diganti dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun. - Dalam pemidanaan dianut sistem dua jalur (double-track system), yaitu di samping jenis pidana tersebut, Undang-Undang ini mengatur pula jenis tindakan. Dalam hal ini, hakim dapat mengenakan tindakan kepada mereka yang melakukan Tindak Pidana, tetapi tidak atau kurang mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya yang disebabkan pelaku
menyandang disabilitas mental dan/ atau disabilitas intelektual. Di samping dljatuhi pidana dalam hal tertentu, terpidana juga dapat dikenai tindakan dengan maksud untuk memberi perlindungan kepada masyarakat dan mewujudkan tata tertib sosial. - Pidana minimum khusus dapat diancamkan berdasarkan pertimbangan :
(a) menghindari adanya disparitas pidana yang sangat mencolok bagi Tindak Pidana yang sama atau kurang lebih sama kualitasnya;
(b) lebih mengefektifkan pengaruh prevensi urnum, khususnya bagi Tindak Pidana yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat; dan
(c) jika dalam keadaan tertentu maksimum pidana dapat diperberat, dapat dipertimbangkan pula bahwa minimum pidana untuk Tindak Pidana tertentu dapat diperberat.
Pada prinsipnya pidana minimum khusus merupakan suatu pengecualian, yaitu hanya untuk Tindak Pidana tertentu yang dipandang sangat merugikan, sangat membahayakan, atau sangat meresahkan masyarakat dan untuk Tindak Pidana yang dikualifikasi atau diperberat oleh akibatnya.
- Dalam Undang-Undang ini jenis pidana denda dirumuskan dengan menggunakan sistem kategori. Sistem itu dimaksudkan agar dalam perumusan Tindak Pidana tidak perlu disebutkan suatu jumlah denda tertentu, melainkan cukup dengan menunjuk kategori denda yang sudah ditentukan dalam Buku Kesatu. Dasar pemikiran penggunaan system kategori tersebut adalah bahwa pidana denda merupakan jenis pidana yang relatif sering berubah nilainya karena perkembangan nilai mata uang akibat situasi perekonomian. Dengan demikian, jika terjadi perubahan nilai mata uang, sistem kategori akan lebih mudah dilakukan perubahan atau penyesuaian.
- Dalam Undang-Undang ini diatur pula diversi dan jenis tindakan serta pidana bagi Anak. Pengaturan ini dimaksudkan unhrk kepentingan terbaik bagi Anak karena berkaitan dengan adanya Undang-Undang mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak dan selain itu Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Anak.
BUKU KEDUA
- Untuk menghasilkan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang bersifat kodilikasi dan unifikasi, di samping dilakukan evaluasi dan seleksi terhadap berbagai Tindak Pidana yang ada di dalam Wetboek van Strafrecht sebagaimana ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, apresiasi juga dilakukan terhadap berbagai perkembangan Tindak Pidana yang ada diluar Wetboek van Strafrecht, antara lain, Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana pencucian uang, pemberantasan Tindak Pidana terorisme, pemberantasan Tindak Pidana korupsi, pemberantasan Tindak Pidana perdagangan orang, dan pengadilan hak asasi manusia.
- Secara antisipatif dan proaktif, juga dimasukkan antara lain, pengaturan tentang Tindak Pidana Pornografi, Tindak Pidana terhadap informatika dan elektronika, Tindak Pidana penerbangan, Tindak Pidana terhadap organ, jaringan tubuh, dan darah manusia, dan Tindak Pidana terhadap proses peradilan.
- Di samping itu, Undang-Undang ini juga mengadopsi konvensi internasional baik yang sudah diratifikasi maupun yang belum diratifikasi, antara lain, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan
Martabat Manusia). - Dengan sistem perumusan Tindak Pidana di atas, untuk Tindak Pidana berat terhadap hak asasi manusia, Tindak Pidana terorisme, Tindak Pidana korupsi, Tindak Pidana pencucian uang, Tindak Pidana narkotika dikelompokkan dalam 1 (satu) bab tersendiri yang dinamai ” Bab Tindak Pidana Khusus “. Penempatan dalam bab tersendiri tersebut didasarkan pada karakteristik khusus, yaitu:
(a) dampak viktimisasinya (Korbannya) besar;
(b) sering bersifat transnasional terorganisasi (Transnational Organizcd Crime);
(c) pengaturan acara pidananya bersifat khusus;
(d) sering menyimpang dari asas umum hukum pidana materiel;
(e) adanya lembaga pendukung penegakan hukum yang bersifat dan memiliki kewenangan khusus (misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Narkotika Nasional, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia);
(f) didukung oleh berbagai konvensi internasional, baik yang sudah diratifikasi maupun yang belum diratifikasi; dan
(g) merupakan perbuatan yang dianggap sangat jahat (super mala per se) dan tercela dan sangat dikutuk oleh masyarakat (strong people condemnation).
Dengan pengaturan ” Bab Tindak Pidana Khusus ” tersebut, kewenangan yang telah ada pada lembaga penegak hukum tidak berkurang dan terap berwenang menangani Tindak Pidana berat terhadap hak asasi manusia, Tindak Pidana terorisme, Tindak Pidana korupsi, Tindak Pidana pencucian uang, dan Tindak Pidana Narkotika.
- Pembentukan Undang-Undang ini juga memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan pengujian KUHP, antara lain, mengenai Tindak Pidana penghinaan Presiden, Tindak Pidana mengenai penodaan agama, dan Tindak Pidana kesusilaan.
- Sejalan dengan proses globalisasi, laju pembangunan dan perkembangan sosial yang disertai dengan mobilitas sosial yang cepat serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, diperkirakan jenis Tindak Pidana baru masih akan muncul di kemudian hari. Oleh karena itu, pengaturan jenis Tindak Pidana baru yang belum diatur dalam Undang-Undang ini atau yang akan muncul di kemudian hari dapat dilakukan melalui perubahan terhadap Undang-Undang ini atau mengaturnya dalam Undang-Undang tersendiri karena kekhususannya atas dasar Pasal 187 Buku Kesatu.
Penjelasan umum dan Penjelasan pasal demi pasal dalam Undang-Undang ini merupakan tafsir resmi atas norma tertentu dalam batang tubuh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh sehingga tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud. Untuk itu, penjelasan dalam Undang-Undang ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pasal dalam batang tubuh yang mendeskripsikan maksud dan makna yang terkandung dalam pasal tersebut.
Buku Kesatu = ATURAN UMUM
Buku Kesatu dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) berisi mengenai aturan umum yang terdiri dari 6 Bab, beberapa bagian dan beberapa paragraf, yang dimulai dari Pasal 1 hingga Pasal 187, secara singkat sebagai berikut :
BAB I RUANG LINGKUP BERLAKUNYA KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN | |
---|---|
1. Menurut Waktu | Pasal 1 – 3 |
2. Menurut Tempat | |
2.1. Asas Wilayah atau Terotorial | Pasal 4 |
2.2. Asas Perlindungan dan Asas Nasional Pasif | Pasal 5 |
2.3. Asas Universal | Pasal 6 – 7 |
2.4. Asas Nasional Aktif | Pasal 8 |
2.5. Pengecualian | Pasal 9 |
3. Waktu Tindak Pidana | Pasal 10 |
4. Tempat Tindak Pidana | Pasal 11 |
BAB II TINDAK PIDANA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA | |
1. Tindak Pidana | |
1.1. Umum | Pasal 12 |
1.2. Permufakatan Jahat | Pasal 13 – 14 |
1.3. Persiapan | Pasal 15 – 16 |
1.4. Percobaan | Pasal 17 – 19 |
1.5. Penyertaan | Pasal 20 – 22 |
1.6. Pengulangan | Pasal 23 |
1.7. Tindak Pidana Aduan | Pasal 24 – 30 |
1.8. Alasan Pembenar | Pasal 31 – 35 |
2. Pertanggungjawaban Pidana | |
2.1. Umum | Pasal 36 – 39 |
2.2. Alasan Pemaaf | Pasal 40 – 44 |
2.3. Pertanggungjawaban Korporasi | Pasal 45 – 50 |
BAB III PEMIDANAAN, PIDANA DAN TINDAKAN | |
1. Tujuan dan Pedoman Pemidanaan | |
1.1. Tujuan Pemidanaan | Pasal 51 – 52 |
1.2. Pedoman Pemidanaan | Pasal 53 – 56 |
1.3. Pedoman Penerapan Pidana Penjara dengan Perumusan Tunggal dan Perumusan Alternatif | Pasal 57 |
1.4. Pemberatan Pidana | Pasal 58 – 59 |
1.5. Ketentuan Lain tentang Pemidanaan | Pasal 60 – 63 |
2. Pidana dan Tindakan | |
2.1. Pidana | Pasal 64 – 102 |
2.2. Tindakan | Pasal 103 – 111 |
3. Diversi, Tindakan dan Pidana bagi Anak | |
3.1. Diversi | Pasal 112 |
3.2. Tindakan | Pasal 113 |
3.3. Pidana | Pasal 114 – 117 |
4. Pidana dan Tindakan bagi Korporasi | |
4.1. Pidana | Pasal 118 – 122 |
4.2. Tindakan | Pasal 123 – 124 |
5. Perbarengan | Pasal 125 – 131 |
BAB IV GUGURNYA KEWENANGAN PENUNTUTAN DAN PELAKSANAAN PIDANA | |
1. Gugurnya Kewenangan Penuntutan | Pasal 132 – 139 |
2. Gugurnya Kewenangan Pelaksanaan Pidana | Pasal 140 – 143 |
BAB V PENGERTIAN ISTILAH | Pasal 144 – 186 |
BAB VI ATURAN PENUTUP | Pasal 187 |
Buku Kedua = TINDAK PIDANA
Buku Kedua dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) berisi tentang Tindak Pidana, yang membuat 37 bab, beberapa bagian dan beberapa paragraf, yang dimulai dari Pasal 188 hingga Pasal 624, dengan rincian sebagai berikut :
BAB I TINDAK PIDANA TERHADAP KEAMANAN NEGARA | |
---|---|
1. Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara | |
1.1. Penyebaran dan Pengembangan Ajaran Komunis / Marxisme – Leninisme atau Paham Lain yang bertentangan dengan Pancasila | Pasal 188 – 189 |
1.2. Peniadaan dan Penggantian Ideologi Pancasila | Pasal 190 |
2. Tindak Pidana Makar | |
2.1. Makar terhadap Presiden dan / atau Wakil Presiden | Pasal 191 |
2.2. Makar terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia | Pasal 192 |
2.3. Makar terhadap Pemerintah | Pasal 193 – 196 |
3. Tindak Pidana terhadap Pertahanan Negara | |
3.1. Pertahanan Negara | Pasal 197 – 202 |
3.2. Pengkhianatan terhadap Negara dan Pembocoran Rahasia Negara | Pasal 203 – 209 |
3.3. Sabotase dan Tindak Pidana pada waktu perang | Pasal 210 – 216 |
BAB II TINDAK PIDANA TERHADAP MARTABAT PRESIDEN DAN / ATAU WAKIL PRESIDEN | |
1. Penyerangan terhadap Presiden dan / atau Wakil Presiden | Pasal 217 |
2. Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan / atau Wakil Presiden | Pasal 218 – 220 |
BAB III TINDAK PIDANA TERHADAP NEGARA SAHABAT | |
1. Makar terhadap Negara Sahabat | |
1.1. Makar untuk melepaskan wilayah Negara Sahabat | Pasal 221 – 223 |
1.2. Makar terhadap Kepala Negara Sahabat | Pasal 224 |
2. Penyerangan terhadap Kepala Negara Sahabat dan Wakil Kepala Negara Sahabat serta Penodaan Bendera | |
2.1. Penyerangan terhadap Kepala Negara Sahabat dan Wakil Kepala Negara Sahabat | Pasal 225 |
2.2. Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Kepala Negara Sahabat dan Wakil Kepala Negara Sahabat | Pasal 226 – 230 |
2.3. Penodaan Bendera Kebangsaan Negara Sahabat | Pasal 231 |
BAB IV TINDAK PIDANA TERHADAP PENYELENGGARAAN RAPAT LEMBAGA LEGISLATIF DAN BADAN PEMERINTAH | Pasal 232 – 233 |
BAB V TINDAK PIDANA TERHADAP KETERTIBAN UMUM | |
1. Penghinaan terhadap Simbol Negara, Pemerintah atau Lembaga Negara dan Golongan Penduduk | |
1.1. Penodaan terhadap Bendera Negara, Lambang negara dan Lagu Kebangsaan | Pasal 234 – 239 |
1.2. Penghinaan terhadap Pemerintah atau Lembaga Negara | Pasal 240 – 241 |
1.3. Penghinaan terhadap Golongan Penduduk | Pasal 242 – 243 |
1.4. Tindak Pidana atas dasar Diskriminasi Ras dan Etnis | Pasal 244 – 245 |
2. Penghasutan dan Penawaran Untuk Melakukan Tindak Pidana | |
2.1. Penghasutan untuk melawan Penguasa Umum | Pasal 246 – 248 |
2.2. Penawaran Untuk Melakukan Tindak Pidana | Pasal 249 – 252 |
3. Tidak Melaporkan atau Memberitahukan Adanya Orang Yang Hendak Melakukan Tindak Pidana | |
3.1. Tidak Melaporkan adanya Permufakatan Jahat | Pasal 253 |
3.2. Tidak Memberitahukan Kepada Pejabat yang Berwenang Adanya Orang Yang Berencana Melakukan Tindak Pidana | Pasal 254 – 255 |
4. Gangguan Terhadap Ketertiban dan Ketentraman Umum | |
4.1. Penyelenggaraan Pawai, Unjuk Rasa atau Demonstrasi | Pasal 256 |
4.2. Memasukan Rumah dan Pekarangan Orang Lain | Pasal 257 |
4.3. Penyadapan | Pasal 258 – 259 |
4.4. Memaksa Masuk Kantor Pemerintah | Pasal 260 |
4.5. Turut Serta dalam Organisasi Yang bertujuan Melakukan Tindak Pidana | Pasal 261 |
4.6. Melakukan Kekerasan terhadap Orang atau Barang secara bersama – sama di muka umum | Pasal 262 |
4.7. Penyiaran atau Penyebarluasan Berita atau Pemberitahuan Bohong | Pasal 263 – 264 |
4.8. Gangguan terhadap Ketentraman Lingkungan dan Rapat Umum | Pasal 265 – 267 |
4.9. Gangguan terhadap Pemakaman dan Jenazah | Pasal 268 – 271 |
5. Penggunaan Ijazah atau Gelar Akademik Palsu | Pasal 272 |
6. Tindak Pidana Perizinan | |
6.1. Gadai Tanpa Izin | Pasal 273 |
6.2. Penyelenggaraan Pesta atau Keramaian | Pasal 274 |
6.3. Menjalankan Pekerjaan Tanpa Izin atau Melampaui Kewenangan | Pasal 275 |
6.4. Pemberian atau Penerimaan Barang kepada dan dari Narapidana | Pasal 276 |
7. Gangguan terhadap Tanah, Benih, Tanaman dan Pekarangan | Pasal 277 |
BAB VI TINDAK PIDANA TERHADAP PROSES PERADILAN | |
1. Penyesatan Proses Peradilan | Pasal 278 |
2. Mengganggu dan Merintangi Proses Peradilan | Pasal 279 – 292 |
3. Perusakan Gedung, Ruang Sidang dan Alat Perlengkapan Sidang Pengadilan | Pasal 293 |
4. Perlindungan Saksi dan Korban | Pasal 294 – 299 |
BAB VII TINDAK PIDANA TERHADAP AGAMA, KEPERCAYAAN DAN KEHIDUPAN BERAGAMA ATAU KEPERCAYAAN | |
1. Tindak Pidana terhadap Agama dan Kepercayaan | Pasal 300 – 302 |
2. Tindak Pidana terhadap Kehidupan Beragama atau Kepercayaan dan Sarana Ibadah | Pasal 303 – 305 |
BAB VIII TINDAK PIDANA YANG MEMBAHAYAKAN KEAMANAN UMUM BAGI ORANG, KESEHATAN DAN BARANG | |
1. Tindak Pidana yang Membahayakan Kemanan Umum | |
1.1. Tindak Pidana tentang Senjata Api, Amunisi Bahan Peledak dan Senjata Lain | Pasal 306 – 307 |
1.2. Mengakibatkan Kebakaran, Ledakan dan Banjir | Pasal 308 – 311 |
1.3. Merintangi Pekerjaan Pemadaman Kebakaran dan Penanggulangan Banjir | Pasal 312 – 313 |
1.4. Mengakibatkan Bahaya Umum | Pasal 314 – 317 |
1.5. Tanpa Izin Membuat Bahan Peledak | Pasal 318 |
2. Tindak Pidana Perusakan Bangunan | |
2.1. Bangunan Listrik | Pasal 319 – 320 |
2.2. Bangunan Lalu Lintas Umum | Pasal 321 324 |
2.3. Rambu Pelayaran | Pasal 325 – 326 |
2.4. Perusakan Gedung | Pasal 327 – 328 |
3. Tindak Pidana Perusakan Kapal | Pasal 329 – 330 |
4. Tindak Pidana Kenakalan terhadap Orang atau Barang | Pasal 331 |
5. Tindak Pidana terhadap Informatika dan Elektronika | |
5.1. Penggunaan dan Perusakan Informasi Elektronik | Pasal 332 |
5.2. Tanpa Hak Menggunakan atau Mengakses Komputer dan Sistem Elektronik | Pasal 333 – 335 |
6. Tindak Pidana Pengusikan, Kecerobohan Pemeliharaan dan Penganiayaan Hewan | Pasal 336 – 338 |
7. Tindak Pidana Kecerobohan yang Membahayakan Umum | Pasal 339 – 341 |
8. Perbuatan yang Membahayakan Nyawa atau Kesehatan | Pasal 342 – 344 |
9. Tindak Pidana Jual Beli Organ, Jaringan Tubuh dan Darah Manusia | Pasal 345 – 346 |
BAB IX TINDAK PIDANA TERHADAP KEKUASAAAN PEMERINTAHAN | |
1. Tindak Pidana terhadap Pejabat | |
1.1. Pemaksaan terhadap Pejabat | Pasal 347 – 350 |
1.2. Pengabaian terhadap Perintah Pejabat yang Berwenang | Pasal 351 – 358 |
1.3. Pengabaian terhadap Wajib Bela Negara | Pasal 359 |
1.4. Perusakan Maklumat Negara | Pasal 360 |
1.5. Laporan atau Pengaduan Palsu | Pasal 361 |
1.6. Penggunaan Kepangkatan, Gelar dan Tanda Kebesaran | Pasal 362 – 363 |
1.7. Perusakan Bukti Surat untuk Kepentingan Jabatan Umum | Pasal 364 – 367 |
2. Penganjuran Desersi, Pemberontakan dan Pembangkangan Tentara Nasonal Indonesia | Pasal 368 – 369 |
3. Penyalahgunaan Surat Pengangkutan Ternak | Pasal 370 |
4. Tindak Pidana Irigasi | Pasal 371 |
5. Penggandaan Surat Resmi Negara tanpa Izin | Pasal 372 |
BAB X TINDAK PIDANA KETERANGAN PALSU DIATAS SUMPAH | Pasal 373 |
BAB XI TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DAN UANG KERTAS | Pasal 374 – 381 |
BAB XII TINDAK PIDANA PEMALSUAN METERAI, CAP NEGARA DAN TERA NEGARA | |
1. Pemalsuan Meterai | Pasal 382 – 383 |
2. Pemalsuan dan Penggunaan Cap Negara dan Tera Negara | Pasal 384 – 388 |
3. Pengedaran Meterai, Cap atau Tanda yang Dipalsu | Pasal 389 – 390 |
BAB XIII TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT | |
1. Pemalsuan Surat | Pasal 391 – 393 |
2. Keterangan Palsu dalam Akta Autentik | Pasal 394 |
3. Pemalsuan terhadap Surat Keterangan | Pasal 395 – 400 |
BAB XIV TINDAK PIDANA TERHADAP ASAL USUL DAN PERKAWINAN | Pasal 401 – 405 |
BAB XV TINDAK PIDANA KESUSILAAN | |
1. Kesusilaan di Muka Umum | Pasal 406 |
2. Pornografi | Pasal 407 |
3. Mempertunjukkan Alat Pencegah Kehamilan dan Alat Pengguguran Kandungan | Pasal 408 – 410 |
4. Perzinaan | Pasal 411 – 413 |
5. Perbuatan Percabulan | |
5.1. Percabulan | Pasal 414 – 418 |
5.2. Memudahkan Percabulan dan Persetubuhan | Pasal 419 – 423 |
6. Minuman dan Bahan yang Memabukkan | Pasal 424 |
7. Pemanfaatan Anak untuk Pengemisan | Pasal 425 |
8. Perjudian | Pasal 426 – 427 |
BAB XVI TINDAK PIDANA PENELANTARAN ORANG | Pasal 428 – 432 |
BAB XVII TINDAK PIDANA PENGHINAAN | |
1. Pencemaran | Pasal 433 |
2. Fitnah | Pasal 434 – 435 |
3. Penghinaan Ringan | Pasal 436 |
4. Pengaduan Fitnah | Pasal 437 |
5. Persangkaan Palsu | Pasal 438 |
6. Pencemaran Orang Mati | Pasal 439 |
7. Pengaduan, Pemberatan Pidana dan Pidana Tambahan | Pasal 440 – 442 |
BAB XVIII TINDAK PIDANA PEMBUKAAN RAHASIA | Pasal 443 – 445 |
BAB XIX TINDAK PIDANA TERJADAP KEMERDEKAAN ORANG | |
1. Perampasan Kemerdekaan Orang dan Pemaksaan | Pasal 446 – 449 |
2. Perampasan Kemerdekaan Orang | |
2.1. Penculikan | Pasal 450 |
2.2. Penyanderaan | Pasal 451 |
3. Perampasan Kemerdekaan terhadap Anak dan Perempuan | |
3.1. Pengalihan Kekuasaan | Pasal 452 |
3.2. Menyembunyikan Anak | Pasal 453 |
3.3. Melarikan Anak dan Perempuan | Pasal 454 |
4. Perdagangan Orang | Pasal 455 |
5. Pidana Tambahan | Pasal 456 |
BAB XX TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN MANUSIA | Pasal 457 |
BAB XXI TINDAK PIDANA TERHADAP NYAWA DAN JANIN | |
1. Pembunuhan | Pasal 458 – 462 |
2. Aborsi | Pasal 463 – 465 |
BAB XXII TINDAK PIDANA TERHADAP TUBUH | |
1. Penganiayaan | Pasal 466 – 471 |
2. Penyerangan dan Perkelahian secara Berkelompok | Pasal 472 |
3. Perkosaan | Pasal 473 |
BAB XXIII TINDAK PIDANA YANG MENGAKIBATKAN MATI ATAU LUKA KARENA KEALPAAN | Pasal 474 – 475 |
BAB XXIV TINDAK PIDANA PENCURIAN | Pasal 476 – 481 |
BAB XXV TINDAK PIDANA PEMERASAN DAN PENGANCAMAN | Pasal 482 – 485 |
BAB XXVI TINDAK PIDANA PENGGELAPAN | Pasal 486 – 491 |
BAB XXVII TINDAK PIDANA PERBUATAN CURANG | Pasal 492 – 510 |
BAB XXVIII TINDAK PIDANA TERHADAP KEPERCAYAAN DALAM MENJALANKAN USAHA | |
1. Perbuatan Merugikan dan Penipuan terhadap Kreditur | Pasal 511 – 515 |
2. Perbuatan Curang Pengurus atau Komisaris | Pasal 516 – 518 |
3. Perdamaian untuk Memperoleh Keuntungan | Pasal 519 |
4. Penarikan Barang Tanpa Hak | Pasal 520 |
BAB XXIX TINDAK PIDANA PERUSAKAN DAN PENGHANCURAN BARANG DAN BANGUNAN GEDUNG | |
1. Perusakan dan Penghancuran Barang | Pasal 521 |
2. Perusakan dan Penghancuran Banguan Gedung | Pasal 522 – 526 |
BAB XXX TINDAK PIDANA JABATAN | |
1. Penolakan atau Pengabaian Tugas yang Diminta | Pasal 527 – 528 |
2. Tindak Pidana Paksaan dan Tindak Pidana Penyiksaan | Pasal 529 – 530 |
3. Penyalahgunaan Jabatan atau Kewenangan | Pasal 531 – 541 |
BAB XXXI TINDAK PIDANA PELAYARAN | |
1. Pembajakan dan Kekerasan terhadap dan diatas Kapal | Pasal 542 – 548 |
2. Pemalsuan Surat Keterangan Kapal dan Laporan Palsu | Pasal 549 – 552 |
3. Penyerangan, Pemberontakan dan Pembangkangan di Kapal | Pasal 553 – 557 |
4. Penyalahgunaan Wewenang dan Pelanggaran Kewajiban oleh Nakhoda Kapal | Pasal 558 – 569 |
5. Perusakan Barang Muatan dan Keperluan Kapal | Pasal 570 |
6. Menjalankan Profesi sebagai Awak Kapal | Pasal 571 – 572 |
7. Penandatanganan Konosemen dan Tiket Perjalanan | Pasal 573 – 574 |
BAB XXXII TINDAK PIDANA PENERBANGAN DAN TINDAK PIDANA TERHADAP SARANA SERTA PRASARANA PENERBANGAN | |
1. Perusakan Sarana Penerbangan dan Pesawat Udara | Pasal 575 – 578 |
2. Pembajakan Pesawat Udara | Pasal 579 – 580 |
3. Perbuatan yang Membahayakan Keselamatan Penerbangan | Pasal 581 – 589 |
4. Tindak Pidana Asuransi Pesawat Udara | Pasal 590 |
BAB XXXIII TINDAK PIDANA PENADAHAN, PENERBITAN DAN PENCETAKAN | |
1. Tindak Pidana Penadahan | Pasal 591 – 593 |
2. Tindak Pidana Penerbitan dan Pencetakan | Pasal 594 – 596 |
BAB XXXIV TINDAK PIDANA BERDASARKAN HUKUM YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT | Pasal 597 |
BAB XXXV TINDAK PIDANA KHUSUS | |
1. Tindak Pidana Berat terhadap Hak Asasi Manusia | Pasal 598 – 599 |
2. Tindak Pidana Terorisme | Pasal 600 – 602 |
3. Tindak Pidana Korupsi | Pasal 603 – 606 |
4. Tindak Pidana Pencucian Uang | Pasal 607 – 608 |
5. Tindak Pidana Narkotika | Pasal 609 – 611 |
6. Permufakatan Jahat, Persiapan, Percobaan dan Pembantuan Tindak Pidana Khusus | Pasal 612 |
BAB XXXVI KETENTUAN PERALIHAN | Pasal 613 – 620 |
BAB XXXVII KETENTUAN PENUTUP | Pasal 621 – 624 |