Putusan MK Nomor 118/PUU-XX/2022, 31 Januari 2023
Pengujian Materiil terhadap frasa “mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggang mulai berlaku pada hari sesudah barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak digunakan” dalam Pasal 79 angka 1 Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Amar Putusan
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian
Menyatakan Pasal 79 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Diumumkan pada tanggal 26 Pebruari 1946) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggang mulai berlaku pada hari sesudah barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak diketahui, digunakan, dan menimbulkan kerugian”. Sehingga, Pasal 79 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Diumumkan pada tanggal 26 Pebruari 1946) yang semula berbunyi “Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam hal-hal berikut:
1. mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggang mulai berlaku pada hari sesudah barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak digunakan” menjadi selengkapnya berbunyi, “Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam hal-hal berikut:
1. mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggang mulai berlaku pada hari sesudah barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak diketahui, digunakan, dan menimbulkan kerugian.”
Pendapat Mahkamah
[3.10.1] Bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 79 angka 1 KUHP bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena menimbulkan multitafsir terkait penafsiran mengenai waktu penghitungan masa daluwarsa tindak pidana pemalsuan surat. Terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah, daluwarsa (kedaluwarsa) adalah lewatnya waktu yang menjadi sebab gugurnya atau hapusnya hak untuk menuntut atau melaksanakan hukuman terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana. Dalam perspektif KUHP, pada dasarnya semua pelaku (dalam arti luas) dari suatu tindak pidana harus dituntut di muka sidang, akan tetapi baik secara umum atau secara khusus undang-undang menentukan peniadaan dan/atau penghapusan penuntutan dalam hal-hal tertentu, misalnya karena daluwarsa [vide Pasal 78 KUHP]. Daluwarsa dimaksud ditujukan agar kewenangan penuntutan dilakukan dalam jangka waktu tertentu dan bukan dilakukan dengan tanpa batas waktu. Ketentuan daluwarsa memberikan kepastian hukum terhadap status tindak pidana yang dilakukan agar pelaku tidak terusmenerus berada dalam keadaan tidak tenang tanpa batas waktu karena ketidaktenangan hidup sebelum masa daluwarsa berakhir pada dasarnya adalah suatu penderitaan jiwa yang tidak berbeda dengan penderitaan akibat menjalani suatu pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan. Lamanya tenggang waktu daluwarsa untuk peniadaan penuntutan pidana didasarkan pada berat ringannya ancaman pidana atau berat ringannya tindak pidana yang diperbuat. Semakin berat tindak pidana diperbuat maka akan semakin lama rasa penderitaan yang dibawa oleh orang atau masyarakat sebagai akibat dari tindak pidana yang dibuatnya.
Selain itu, daluwarsa juga didasarkan pada faktor kesulitan dalam hal mengungkap kasus perkara sebagaimana kejadian sebenarnya di waktu yang lalu. Hal ini dikarenakan dalam mengungkap suatu peristiwa diperlukan bukti sebagaimana ditentukan peraturan perundang-undangan. Semakin lama lewatnya waktu suatu peristiwa maka akan semakin sulit untuk memperoleh alat bukti tersebut. Begitu pula dengan ingatan seorang saksi yang akan semakin berkurang bahkan lenyap atau lupa tentang suatu kejadian yang dilihat atau dialaminya.
Demikian juga dengan barang bukti, yang semakin lama akan menyebabkan benda itu menjadi rusak, musnah, atau hilang dan tidak ada lagi. Sehingga, dengan berlalunya waktu yang lama akan memperkecil keberhasilan bahkan dapat menyebabkan kegagalan dari suatu penuntutan. Lebih dari itu, rasa keadilan juga menjadi terusik manakala keadilan yang dicapai bukanlah keadilan hakiki yang digali dari persidangan yang menggunakan alat bukti yang tidak valid.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, ketentuan mengenai daluwarsa pada dasarnya merupakan bentuk pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum bagi masyarakat terutama terkait dengan penanganan suatu perkara. Bagi pelaku, daluwarsa memberikan kepastian hukum kepada pelaku mengenai sampai kapan jangka waktu perkaranya dapat dilakukan penuntutan. Adapun bagi penegak hukum, daluwarsa memberikan kepastian hukum terkait jangka waktu untuk melakukan penuntutan terhadap suatu perkara.
[3.10.2] Bahwa secara umum, jangka waktu daluwarsa harus mulai dihitung pada hari sesudah tindak pidana dilakukan [vide Pasal 78 KUHP]. Sehingga, untuk dimulainya jangka waktu penghitungan daluwarsa ialah bukan pada waktu tindakan dilakukan, melainkan pada saat munculnya akibat dari tindak pidana tersebut. Pasal 79 angka 1 KUHP menyatakan, “Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam hal-hal berikut: 1. mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggang mulai berlaku pada hari sesudah barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak digunakan”. Ketentuan ini memberikan pengecualian terhadap berlakunya tenggang waktu daluwarsa yang umumnya mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, yakni berlaku pada hari sesudah barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak digunakan.
Bahwa terkait dengan tindak pidana pemalsuan surat, diatur dalam Bab XII Buku II KUHP yakni Pasal 263 KUHP sampai dengan Pasal 276 KUHP, yaitu pemalsuan surat pada umumnya (Pasal 263 KUHP), pemalsuan surat yang diperberat (Pasal 263 KUHP), menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik dan mempergunakan akta tersebut (Pasal 266 KUHP), pemalsuan surat keterangan dokter (Pasal 267 dan Pasal 268 KUHP), pemalsuan surat-surat tertentu (Pasal 269, Pasal 270, dan Pasal 271 KUHP); dan pemalsuan surat keterangan Pejabat tentang hak milik (Pasal 274 KUHP). Adapun dalam permohonan a quo, pemalsuan surat yang dimaksudkan oleh para Pemohon ialah yang terkait dengan Pasal 263 KUHP yang menyatakan:
(1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun. (2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum, barangsiapa dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, kalau hal mempergunakan dapat mendatangkan sesuatu kerugian.
Dalam ketentuan tersebut, pemalsuan surat merupakan tindak pidana yang diancam pidana penjara yaitu paling lama enam tahun penjara. Sehingga jika dikaitkan dengan Pasal 78 ayat (1) angka 3 KUHP, kewenangan penuntutan atas tindak pidana pemalsuan tersebut akan menjadi hapus karena daluwarsa sesudah 12 (dua belas) tahun.
Bahwa yang dimaksud dengan surat dalam Pasal 263 KUHP adalah: 1) Yang dapat menimbulkan suatu hak; 2) Yang dapat menimbulkan suatu perjanjian/perikatan; 3) Yang dapat menimbulkan suatu pembebasan utang; 4) Yang dapat dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan atau peristiwa. Bentuk pemalsuan surat dapat dilakukan dengan cara membuat surat palsu, memalsu surat, memalsu tanda tangan, dan penempelan foto orang lain dari pemegang yang berhak. Pengertian membuat surat palsu adalah perbuatan membuat sebuah surat yang sebelumnya tidak ada/belum ada, yang sebagian atau seluruh isinya palsu sehingga surat palsu yang dihasilkan dari perbuatan ini disebut dengan surat palsu. Sementara memalsu surat adalah segala wujud perbuatan apapun yang ditujukan pada sebuah surat yang sudah ada, dengan cara menghapus, mengubah, atau mengganti salah satu isinya surat sehingga berbeda dengan surat semula atau disebut juga surat yang dipalsukan.
Pasal 263 KUHP merupakan delik sengaja, baik perbuatan sengaja maupun sengaja sebagai maksud dan tidak ada delik kelalaian (culpa) dalam pemalsuan surat. Ketentuan ini pada dasarnya melindungi kepentingan umum yakni kepercayaan warga dalam hubungan masyarakat serta timbulnya kerugian. Kerugian yang mungkin ditimbulkan sehubungan dengan pemalsuan berdasarkan Pasal 263 KUHP tidak harus kerugian yang bersifat materiil, melainkan juga apabila kepentingan masyarakat dapat dirugikan, misalnya penggunaan surat yang dipalsukan tersebut dapat menyulitkan pengusutan suatu perkara. Oleh karenanya Pasal 263 KUHP merupakan delik pemalsuan yang secara spesifik sangat penting bagi pergaulan masyarakat dan pidana tambahan yang dapat diterapkan ialah pencabutan hak serta tidak ada pidana perampasan. Dalam pemalsuan surat juga harus ternyata: 1. Pada waktu memalsukan surat itu harus dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat itu seolah-olah asli dan tidak dipalsukan. 2. Penggunaannya harus dapat mendatangkan kerugian. 3. Tidak hanya untuk yang memalsukan, tetapi yang dihukum juga yang sengaja menggunakan surat palsu, yaitu orang yang menggunakan itu harus mengetahui benar bahwa surat yang ia gunakan itu palsu. Jika ia tidak tahu akan hal itu maka ia tidak dihukum. 4. Sudah dianggap “mempergunakan” misalnya menyerahkan surat itu kepada orang lain yang harus mempergunakan lebih lanjut atau menyerahkan surat itu di tempat di mana surat tersebut diperlukan. 5. Dalam hal menggunakan surat palsu harus pula dibuktikan bahwa orang itu bertindak seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, demikian pula perbuatan itu harus dapat mendatangkan kerugian. Berdasarkan uraian di atas, delik pemalsuan dalam Pasal 263 KUHP merupakan delik pokok yang dapat menjadi berkualifikasi apabila pemalsuan yang dimaksudkan dalam Pasal 263 KUHP dilakukan terhadap akta autentik; surat utang atau sertifikat utang dari sesuatu negara atau bagiannya atau suatu lembaga umum; surat sero (saham) atau utang atau sertifikat sero atau dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai; talon, tanda bukti deviden atau bunga dari surat utang atau sertifikat utang dari sesuatu negara atau bagiannya atau suatu lembaga umum dan surat sero atau utang atau sertifikat sero atau dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat tersebut; suatu kredit atau surat dagang yang diperuntukan untuk diedarkan.
[3.10.3] Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan dalam sub-paragraf [3.10.2] di atas dikaitkan dengan ketentuan Pasal 79 angka 1 KUHP, menurut Mahkamah, penghitungan daluwarsa sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 79 angka 1 KUHP adalah setelah seluruh unsur dari perumusan tidak pidana pemalsuan surat terpenuhi, yaitu pada hari sesudah barang yang dipalsu tersebut diketahui, dipergunakan, dan menimbulkan kerugian. Ketiga unsur dimaksud haruslah dimaknai secara kumulatif. Dengan kata lain, penghitungan daluwarsa pemalsuan surat adalah pada hari sesudah surat yang diduga palsu tersebut dipergunakan dan kepalsuan tersebut diketahui oleh korban atau orang atau pihak lain serta korban dirugikan akibat digunakannya surat yang diduga palsu tersebut. Ketentuan demikian lebih memberikan kepastian hukum bagi semua pihak, terutama bagi korban, yang mungkin saja baru mengetahui adanya tindak pidana pemalsuan surat ketika timbul suatu kerugian pada dirinya dikarenakan adanya penggunaan surat dimaksud. Artinya, korban mungkin tidak akan mengetahui adanya pemalsuan surat apabila surat yang dipalsukan tersebut tidak dipergunakan oleh seseorang dan menimbulkan kerugian pada dirinya. Keadaan demikian juga merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum yang diberikan negara kepada masyarakat, in casu korban, sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara terutama pemerintahan”. Lebih lanjut, ketentuan tersebut juga menutup peluang bagi orang yang berniat untuk menggunakan surat yang dipalsukan tersebut setelah lewat daluwarsa yang ditentukan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas, guna menghindari adanya ketidakpastian hukum dalam penghitungan daluwarsa pemalsuan surat sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 79 angka 1 KUHP serta guna memberikan rasa keadilan bagi semua pihak, menurut Mahkamah, terkait dengan penghitungan daluwarsa pemalsuan surat sebagaimana ketentuan Pasal 79 angka 1 KUHP adalah pada hari sesudah pemalsuan surat tersebut diketahui, dipergunakan, dan menimbulkan kerugian. Dengan demikian, adanya penafsiran yang berbeda-beda oleh aparat penegak hukum di dalam mengimplementasikan ketentuan norma Pasal 79 angka 1 KUHP, yang juga sebagian didalilkan oleh para Pemohon dapat dihindari.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat dalil-dalil permohonan para Pemohon berkenaan dengan penghitungan daluwarsa pemalsuan surat sebagaimana ketentuan Pasal 79 angka 1 KUHP menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah dapat diterima. Namun, oleh karena pemaknaan akan syarat dimulainya penghitungan masa daluwarsa berkenaan dengan ketentuan norma Pasal 79 angka 1 KUHP, sebagaimana yang didalilkan para Pemohon tidak sama dengan pendirian Mahkamah maka dengan demikian permohonan para Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.15] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya, termasuk Pasal 137 huruf a RKUHP tidak dipertimbangkan lebih lanjut oleh Mahkamah karena dipandang tidak ada relevansinya.
Dasar Hukum : Putusan MK Nomor 118/PUU-XX/2022, 31 Januari 2023
Rumah Adhyaksa
Download = Putusan MK Nomor 118/PUU-XX/2022, 31 Januari 2023