Yurisprudensi 1/Yur/TUN/2018
Perbaikan terhadap keputusan tata usaha negara yang keliru oleh pejabat tata usaha negara sebagai akibat dari kesalahan yang dilakukan oleh pejabat tersebut, tidak boleh merugikan kepentingan pihak lain yang memperoleh keputusan dengan cara yang sah dan itikad baik
Pengantar
Penyelenggaraan administrasi pemerintahan, termasuk di dalamnya menerbitkan keputusan, wajib untuk menyesuaikan dengan asas legalitas, asas perlindungan terhadap hak asasi manusia, dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB). Melalui salah satu mekanisme peradilan, apabila terdapat keputusan yang keliru yang dikeluarkan, keputusan tersebut dapat dibatalkan atau dicabut. Namun apakah perubahan keputusan tata usaha negara (KTUN) tersebut dibenarkan jika itu dapat menimbulkan kerugian kepada pihak yang berkepentingan dan telah memperoleh keputusan tersebut dengan cara yang sah Apakah pihak yang berkepentingan atau memiliki hak yang diperoleh dengan cara yang sah bisa mendapatkan perlindungan hukum?
Pendapat Mahkamah Agung
Berkaitan dengan perlindungan hukum tersebut, Mahkamah Agung (MA) berpendapat bahwa pihak yang memperoleh suatu Keputusan Tata Negara dengan cara yang sah dan itikad baik, misalnya melalui prosedur yang tepat atau terdapat putusan pengadilan perdata atau TUN yang telah berkekuatan tetap, maka pihak tersebut harus dilindungi dan haknya tidak boleh dikurangi ketika pejabat yang berwenang memperbaiki Keputusan. Pendapat MA tersebut tertuang dalam putusan No. 421 K/ TUN/2016 (Ny. Margaretha Tjandra, Dr Hasan Anoez vs Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Sulawesi Selatan, Kepala Kantor Pertanahan Kota Makassar, Peter David). Dalam putusan itu, Mahkamah Agung berpendapat :
….In casu Penggugat dan Penggugat II Intervensi mendapatkan hak atas tanah dan Sertifikat Hak Milik yang dicabut oleh Keputusan Tata Usaha Negara Objek Sengketa adalah melalui cara-cara yang sah berdasarkan hukum, yaitu melalui proses perkara perdata dan perkara Tata Usaha Negara yang sangat panjang, sebagai berikut :
1. Nomor 46/G.TUN/1995/PTUN.Uj.Pdg. Juncto Nomor 164 K/TUN/2012 Juncto Nomor 155 PK/TUN/2013;
2. Nomor 08/G/TUN/1998/PTUN.Uj.Pdg. Juncto Nomor 42/BDG.TUN/1998/ PT.TUN.Uj.Pdg. Juncto Nomor 112 K/TUN/1999 Juncto Nomor 38 PK/ TUN/2002;
3. Nomor 31/PDT.G/1996/PN.Uj.Pdg. Juncto Nomor 157/PDT/1997/PT.Uj. Pdg. Juncto Nomor 686 K/Pdt/1998 Juncto Nomor 87 PK/PDT/2012;
4. Nomor 09/G/TUN/2011/PTUN.Mks. Juncto Nomor 103/B.TUN/ 2011/ PT.TUN.Mks
Kemudian dilanjutkan dengan peralihan hak di hadapan Notaris/PPAT Mardiana Kadir, S.H. dengan Akta Jual Beli Nomor 04/2013, tanggal 18 Januari 2013;
Bahwa dari segi hukum Penggugat dan Penggugat II Intervensi mendapatkan Keputusan Tata Usaha Negara yang dibatalkan tersebut adalah dengan cara yang sah dan itikad baik, oleh sebab itu harus mendapat perlindungan hukum;
Bahwa kalaupun benar terjadi kesalahan dalam penerbitan Surat Keputusan yang dibatalkan oleh Tergugat I dan Tergugat II tersebut, sesungguhnya adalah atas kesalahan Tergugat I dan Tergugat II itu sendiri. Sehingga jika akan dilakukan perbaikan-perbaikan tidak boleh membebani/ merugikan kepentingan Penggugat dan Penggugat II Intervensi.
Pendapat tersebut diikuti pada tahun 2017 melalui putusan No.74 K/TUN/2017 (Mudjiddin Maasim Bin H. Maasim vs Kepala Kantor BPN Kabupaten Bengkulu Selatan, Bowo Laksono).
Bahwa secara administratif Sertipikat Hak atas tanah merupakan Keputusan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara dan sekaligus sebagai bukti hak atas tanah. Sebagai Keputusan Administrasi, Sertipikat Tersebut harus mendukung hak atas tanah yang bersangkutan. Oleh karena itu ketika terhadap suatu sengketa atas tanah telah ditetapkan haknya, maka hal-hal yang bersifat formal harus tunduk pada hak yang telah ditetapkan;
Bahwa dalam sengketa a quo tanah yang disengketakan oleh para pihak telah ditetapkan haknya berdasarkan Putusan Pengadilan Perdata yang telah berkekuatan hukum tetap. Penggugat ditetapkan sebagai Pemilik tanah objek sengketa, yang diperoleh melalui peralihan hak waris dari Ayah kandungnya;
Bahwa perbedaan Nomor Sertipikat dalam sengketa Tata Usaha Negara di satu sisi dan dalam perkara perdata di sisi lain, karena adanya balik nama sedangkan bidang tanah dimaksud adalah sama.
Pendapat tersebut ditegaskan kembali melalui putusan No.269 K/TUN/2018 (PT. Adindo Hutani Lestari, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN vs PT. Nunukan Jaya Lestari) mengenai tumpang tindih izin. Pertimbangannya sebagai berikut :
Bahwa prinsip dasar hukum administrasi negara menyatakan bahwa perubahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara harus dapat menjamin tidak menjadi beban kerugian pemegang Keputusan Tata Usaha Negara yang akan dibatalkan;
Bahwa In Casu tanah yang diatasnya sudah diterbitkan Izin hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri oleh Menteri Kehutanan kepada PT Adindo Hutan Lestari seluas ± 109.947 (seratus sembilan ribu sembilan ratus empat puluh tujuh) hektar, kemudian berdasarkan Berita Acara Pelaksanaan Paparan Kasus Nomor 38/BAPPK/D.VII/2015 dan Surat Direktur PT Adindo Hutani Lestari Nomor 013/AHL/V/2012, tanggal 7 Mei 2012, diketahui telah terjadi tumpang tindih (overlapping) areal seluas ± 3.500 (tiga ribu lima ratus) hektar dengan Keputusan Tata Usaha Negera Sertifikat HGU No 1/Nunukan Barat tertanggal 13 Mei 2003 atas nama PT Nunukan Jaya Lestari seluas 19.974,130 Ha. Keadaan ini dibenarkan oleh kedua pihak, baik PT Adindo Hutani Lestari maupun oleh PT Nunukan Jaya Lestari, sebagaimana termuat pada petitum Pemohon Kasasi III;
Bahwa Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN telah mengeluarkan keputusan TUN berupa Surat Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala BPN Nomor 1/Pbt/KEM-ATR/BPN/2016 tertanggal 25 Juli 2016 tentang Pembatalan Hak Guna Usaha Nomor 01/Nunukan Barat tertanggal 13 Mei 2003 atas nama PT Nunukan Jaya Lestari seluas 19.974,130 Ha terletak di Desa Nunukan Barat, Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara (d/h Kalimantan Timur) ternyata secara substantif terdapat cacat hukum administratif, karena faktanya areal yang tumpang tindih antara PT Adindo Hutani Lestari dengan PT Nunukan Jaya Lestari, seluas 3.500 Ha oleh karena itu objek sengketa harus dibatalkan;
Menimbang, bahwa dengan dibatalkannya objek sengketa a quo, selanjutnya mewajibkan kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN untuk menerbitkan SK Pembatalan Sertifikat HGU Nomor 1/Nunukan Barat tertanggal 13 Mei 2003 atas nama PT Nunukan Jaya Lestari areal seluas 3.500 Ha yang tumpang tindih dengan areal Izin usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Industri atas nama PT Adindo Hutani Lestari dan sekaligus menerbitkan SK Pemberian HGU seluas 16.474,130 Ha kepada PT Nunukan Jaya Lestari.
Yurisprudensi Tetap
Pandangan MA yang memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang memperoleh Keputusan dengan cara yang sah telah konsisten dengan permasalahan serupa sejak tahun 2016
Berikut putusan terkait : 421 K/TUN/2016, 74 K/TUN/2017, 269 K/TUN/2018
Rumah Adhyaksa
Download = Kumpulan Yurisprudensi Tahun 2018