Yurisprudensi 1/Yur/Kor/2018
Pembayaran proyek sebelum proyek diselesaikan bukanlah sebuah kerugian negara dan tidak memenuhi unsur melawan hukum atau menyalahgunakan wewenang, apabila terpenuhi syarat-syarat:
1) Terdapat keadaan yang memaksa sehingga pekerjaan tersebut tidak bisa diselesaikan oleh pihak kontraktor/penyedia barang/jasa tepat waktu;
2) Telah dilakukan addendum perpanjangan waktu;
3) Telah ada penentuan denda keterlambatan;
4) Pelaksana proyek telah membayar denda keterlambatan tersebut;
5) Proyek diselesaikan tepat waktu berdasarkan perpanjangan waktu; dan
6) Proyek telah diterima oleh pemberi proyek
Pengantar
Pasal 21 Ayat (1) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyebutkan bahwa pembayaran atas sebuah pekerjaan yang dananya bersumber dari APBN/APBD tidak boleh dilakukan apabila barang dan/atau jasa belum diterima. Pasal 95 ayat (1) Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah menyebutkan bahwa sebuah pekerjaan baru dapat diserahterimakan saat pekerjaan tersebut telah selesai 100%. Hal ini juga dinyatakan dalam Pasal 57 ayat (1) Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Artinya, sebuah pembayaran atas pekerjaan yang bersumber dari APBN/APBD hanya dapat dilakukan ketika pekerjaan tersebut telah selesai 100%. Namun, dalam praktiknya, terdapat beberapa kasus di mana pembayaran atas pekerjaan tersebut dilakukan sebelum pekerjaan selesai 100% dengan menyatakan dalam bukti-bukti untuk pembayaran tersebut bahwa pekerjaan tersebut telah selesai 100%. Alasan yang lazim digunakan adalah agar dana APBN yang dianggarkan untuk pekerjaan tersebut tidak hangus dan kembali ke negara, baik karena masa anggaran yang masuk akhir tahun, maupun karena masa kontrak yang akan habis dalam waktu dekat. Hal ini tentu menyebabkan kurangnya uang negara karena pembayaran tersebut dilakukan akibat sebuah perbuatan yang melawan hukum berupa pemalsuan status pekerjaan, yang mana hal tersebut pada dasarnya masuk dalam definisi “kerugian negara” dalam Pasal 1 angka 22 UU No. 1 Tahun 2004. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan apakah pembayaran penuh atas pekerjaan yang berasal dari APBN/APBD padahal pekerjaan tersebut belum selesai 100% dapat disebut sebagai kerugian negara, sehingga dapat dikatakan telah terjadi tindak pidana korupsi.
Pendapat Mahkamah Agung
Terhadap masalah ini, Mahkamah Agung telah konsisten berpendapat bahwa pembayaran penuh sebuah pekerjaan walaupun pekerjaan tersebut belum selesai 100% bukanlah sebuah kerugian negara dan tidak memenuhi unsur melawan hukum atau menyalahgunakan wewenang, dengan syarat-syarat tertentu. Pendapat ini dapat ditemukan dalam Putusan No. 49 K/Pid.Sus/2016 (Jumali) dimana dalam proyek pemetaan udara, Terdakwa mencairkan pembayaran penuh atas pekerjaan yang masih selesai sebanyak 62%. Kemudian, Terdakwa membayar denda keterlambatan yang ditentukan dan akhirnya pekerjaan tersebut selesai 100% dan telah diserahterimakan. Pada perkara ini, Majelis Hakim berpendapat bahwa perbuatan Terdakwa tidak dapat disebut telah menimbulkan kerugian negara karena faktanya pekerjaan telah selesai 100%, walaupun melewati batas kontrak yang ada, pekerjaan telah diserahterimakan, dan Terdakwa telah membayar denda keterlambatan penyelesaian kontrak tersebut. Pendapat ini juga dapat ditemukan dalam Putusan No. 363 K/Pid.Sus/2016 (H. Mawardi) dan No. 364 K/Pid.Sus/2016 (Sri Ambarwati) di mana dalam proyek pengerjaan Cath Lab di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukit Tinggi, Terdakwa terbukti telah mencairkan pembayaran secara penuh padahal pekerjaan belum selesai 100%, namun dikarenakan tidak adanya addendum kontrak dan tidak adanya penjatuhan denda penalti keterlambatan, walaupun pekerjaan tersebut pada akhirnya telah selesai dan telah diserahterimakan, Terdakwa tetap disebut telah merugikan keuangan Negara.
Yurisprudensi
Dengan telah konsistennya penggunaan pendapat ini, maka sikap hukum ini telah menjadi yurisprudensi di Mahkamah Agung.
Berikut daftar putusan terkait : 94 K/Pid.Sus/2016, 363 K/Pid.Sus/2016, 364 K/Pid.Sus/2016.
Rumah Adhyaksa
Download = Kumpulan Yurisprudensi Tahun 2018