
Yurisprudensi 2/Yur/TUN/2018
Dalam hal kepastian hak atau status hukum seseorang telah jelas melalui putusan pengadilan perdata, pengadilan pidana maupun putusan pengadilan tata usaha negara yang sudah berkekuatan hukum tetap, akan tetapi apabila terjadi benturan antara kaidah hukum substantif dengan kaidah hukum formal, maka hakim tata usaha negara harus lebih mengutamakan keadilan substantive
Pengantar
Secara kasuistik di dalam perkara TUN, sering kali kaidah substantif telah terbukti namun terbentur pada Keputusan TUN yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kaidah formal. Contohnya adalah dalam suatu perkara, seorang polisi dalam pemeriksaan internal institusinya telah terbukti positif menggunakan narkoba melalui hasil tes urin dan institusinya mengeluarkan Surat Pemberhentian tanpa harus menunggu putusan pengadilan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap. Hakim TUN harus memilih apakah akan berpihak pada keadilan substantif (dimana polisi tersebut dianggap telah terbukti menggunakan narkoba dengan hasil tes urin) atau keadilan formal (dimana seharusnya terdapat prosedur yang harus dilalui untuk mengeluarkan suatu Surat Pemberhentian). Benturan pilihan keadilan yang harus dipilih oleh hakim TUN telah dirumuskan dalam SEMA No 1 Tahun 2017 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.
Pendapat Mahkamah Agung
Dengan dikeluarkannya SEMA No 1 Tahun 2017, sikap hukum Mahkamah Agung telah jelas dengan menegaskan hakim TUN mengutamakan keadilan substantif daripada keadilan formal. Hal ini dilatar belakangi fungsi hukum formal/ hukum acara adalah untuk menegakkan kaidah hukum materill/substantif. Sebelum SEMA ini dikeluarkan untuk menguatkan pandangan Kamar TUN terkait pilihan kaidah hukum tersebut, Mahkamah Agung melalui putusan No. 54 K/TUN/2014 yang pernah memutus mengenai kaidah hukum materiil (terkait pelanggaran disiplin PNS) dengan kesalahan kaidah hukum formal yang dilakukan Badan Pertimbangan Kepegawaian (Bapek) dalam mengeluarkan keputusan.
Bahwa terlepas dari alasan-alasan kasasi yang telah dikemukakan oleh Pemohon Kasasi, persoalan substantif yang harus dipertimbangkan adalah asas “personal responsibility” yang mengajarkan bahwa “masing-masing orang atau institusi bertanggung jawab atas kesalahannya sendiri” atau dengan kata lain “kesalahan seseorang atau institusi tidaklah menyebabkan orang lain bebas dari kesalahannya sendiri”, sehingga kesalahan formal BAPEK yang memberikan keputusan melampaui tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari adalah akan sangat tidak adil dan merusak sendi-sendi pertanggung-jawaban hukum apabila kesalahan BAPEK tersebut menyebabkan Penggugat terbebas dari kesalahan dan pertanggung-jawaban hukum atas pelanggaran disiplin pegawai negeri sipil;
Bahwa walaupun BAPEK memutus telah melewati tenggang waktu, seharusnya Judex Facti tetap memeriksa dan memutus substansi pokok perkara tentang pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh Penggugat/Termohon Kasasi.
Sikap Mahkamah Agung yang memilih keadilan substantif terlihat pada putusan berikut melalui putusan No. 533 K/TUN/2017. Dalam putusan ini, Permohonan Kasasi yang sesungguhnya telah lewat waktu ( kaidah hukum formal) namun di satu sisi ada persoalan yang substantif terkait penyalahgunaan narkoba sehingga majelis hakim memutuskan untuk tetap menerimanya.
“Bahwa pemberhentian tidak dengan hormat terhadap anggota POLRI tidak hanya didasarkan pada putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap, akan tetapi berdasarkan Pasal 13 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 juncto Pasal 21 ayat (1) huruf g Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011, pemberhentian tidak dengan hormat anggota Polri dapat pula didasarkan pada pelanggaran kode etik Polri sesuai dengan rekomendasi hasil pemeriksaan Komisi Kode Etik Polri. Secara substansial, Penggugat/ Termohon Kasasi tersebut selain melanggar ketentuan hukum pidana, juga dinilai melanggar Kode Etik Profesi Polri;
Bahwa memperhatikan surat keputusan pemberhentian tidak dengan hormat terhadap Penggugat/ Termohon Kasasi (objek sengketa) ternyata dasar pemberhentiannya karena terbukti melanggar kewajiban etika kelembagaan sebagaimana diatur pada ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf b Peraturan Kapolri;
Bahwa dari aspek kewenangan dan prosedur penerbitan keputusan tata usaha negara objek sengketa juga telah sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku sebagaimana dipertimbangkan Judex Facti Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh;
Bahwa pemerintah terutama Polri saat ini sedang gencar memberantas narkoba, dan oleh karena itu setiap anggota Polri termasuk Penggugat/Termohon Kasasi harus bertanggung jawab mendukungnya;
Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, dinilai sudah tepat sikap Tergugat/Pemohon Kasasi menerbitkan keputusan tata usaha negara objek sengketa”
Putusan terkait keutamaan keadilan substantif kemudian diputuskan kembali oleh Mahkamah Agung melalui putusan No. 193 PK/TUN/2017 dengan pertimbangan sebagai berikut:
Bahwa secara kasuistik apabila kepastian tentang hak dan posisi seseorang/subjek hukum telah diputuskan oleh pengadilan dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap, maka akan sangat menciderai keadilan apabila keadilan substantif dipinggirkan pada saat bergesekan dengan aturan formal, karena hukum acara dibuat semata-mata adalah untuk menegakkan kaidah hukum substansi. Pikiran seperti inilah yang diamanatkan oleh UUD NRI Tahun 1945 bahwa tugas Kekuasaan Kehakiman yaitu menegakkan hukum berdasarkan keadilan;
Bahwa dalam sengketa ini, posisi hukum Penggugat telah pasti sebagai Terpidana dalam tindak pidana penyalahgunaan Narkotika Golongan I, sehingga dipandang mengada-ada apabila harus ditempuh lagi prosedur pemberhentian kepala daerah melalui usulan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan seterusnya, karena akan terjadi kelambanan dalam pelaksanaan pemerintahan;
Bahwa dengan demikian putusan Judex Juris yang lebih mengutamakan keadilan dan manfaat daripada kepastian hukum, adalah tepat dan benar.
Yurisprudensi
Keutamaan keadilan substantif telah dimulai oleh Mahkamah Agung sejak tahun 2014 dan dikuatkan dengan SEMA No 1 Tahun 2017 serta 2 (dua) putusan pada tahun 2017. Dengan telah konsistennya sikap hukum Mahkamah Agung tersebut maka telah menjadi yurisprudensi di Mahkamah Agung
Berikut putusan terkait : 54 K/TUN/2014, 193 PK/TUN/2017, 533 K/TUN/2017
Rumah Adhyaksa
Download = Kumpulan Yurisprudensi Tahun 2018