UU Narkotika
Pelapor dalam tindak pidana narkotika mendapatkan perlindungan hukum terkait kerahasiaan nama, alamat dan identitasnya. Hal ini ditegaskan dalam Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 99 ayat (1) : ” Di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika yang sedang dalam pemeriksaan, dilarang menyebutkan nama dan alamat pelapor atau hal yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor “. Penjelasan pasal dimaksud : “ Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap keselamatan pelapor yang memberikan keterangan mengenai suatu tindak pidana Narkotika, agar nama dan alamat pelapor tidak diketahui oleh tersangka, terdakwa, atau jaringannya pada tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan “.
Ditegaskan lagi dalam Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 100 ayat (1) :
” Saksi, pelapor, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memeriksa perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika beserta keluarganya wajib diberi perlindungan oleh negara dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, baik sebelum, selama maupun sesudah proses pemeriksaan perkara “. Penjelasan pasal dimaksud : ” Yang dimaksud dengan “keluarganya” adalah orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah dan garis menyamping sampai derajat kesatu “.
UU Perlindungan Saksi dan Korban
Perlindungan hukum terhadap pelapor juga ditegaskan dalam Undang – Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 1 angka 4 : ” Pelapor adalah orang yang memberikan laporan, informasi, atau keterangan kepada penegak hukum mengenai tindak pidana yang akan, sedang, atau telah terjadi “.
Pasal 5 ayat (3) : ” Selain kepada Saksi dan/atau Korban, hak yang diberikan dalam kasus tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diberikan kepada Saksi Pelaku, Pelapor, dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana “. Penjelasan Pasal 5 ayat (2) : ” Yang dimaksud dengan “tindak pidana dalam kasus tertentu” antara lain, tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana terorisme, tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana narkotika, tindak pidana psikotropika, tindak pidana seksual terhadap anak, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi Saksi dan/atau Korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya “.
Pasal 10 ayat (1) : ” Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik “. Penjelasan Pasal : ” Yang dimaksud dengan “memberikan kesaksian tidak dengan iktikad baik” antara lain memberikan keterangan palsu, sumpah palsu, dan permufakatan jahat “.
SEMA Nomor 04 Tahun 2011
Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborators) di dalam perkara tindak pidana tertentu, Angka 7 : ” Dengan merujuk pada nilai – nilai di dalam ketentuan tersebut diatas dengan ini Mahkamah Agung meminta kepada Para Hakim agar jika menemukan tentang adanya orang – orang yang dapat dikategorikan sebagai Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku yang bekerjasama dapat memberikan perlakuan khusus dengan antara lain memberikan keringan pidana dan / atau bentuk perlindungan lainnya “.