PUTUSAN MK Nomor 65/PUU-VIII/2010, tanggal 8 Agustus 2011
Pengujian materiil terhadap Pasal 1 angka 26 dan angka 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Amar Putusan
Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
Menyatakan Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); serta Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) adalah bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang pengertian saksi dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209), tidak dimaknai termasuk pula “ orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri” ;
Menyatakan Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); serta Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang pengertian saksi dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209), tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”;
Pendapat Mahkamah
Pengertian “saksi” sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1 angka 26 dan angka 27 juncto Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP, berdasarkan penafsiran menurut bahasa (gramatikal) dan memperhatikan kaitannya dengan pasal-pasal lain dalam KUHAP, adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pengadilan tentang suatu tindak pidana yang dia dengar sendiri, dia lihat sendiri, dan dia alami sendiri. Secara ringkas, yang dimaksud saksi oleh KUHAP tersebut adalah hanya orang yang mendengar, melihat, dan mengalami sendiri peristiwa yang disangkakan atau didakwakan;
Menurut MK, pengertian saksi yang menguntungkan dalam Pasal 65 KUHAP tidak dapat ditafsirkan secara sempit dengan mengacu pada Pasal 1 angka 26 dan angka 27 KUHAP saja. Pengertian saksi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27 KUHAP memberikan pembatasan bahkan menghilangkan kesempatan bagi tersangka atau terdakwa untuk mengajukan saksi yang menguntungkan baginya karena frasa “ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri” mensyaratkan bahwa hanya saksi yang mendengar sendiri, melihat sendiri, dan mengalami sendiri suatu perbuatan/tindak pidana yang dapat diajukan sebagai saksi yang menguntungkan.
Padahal, konteks pembuktian sangkaan atau dakwaan bukan hanya untuk membuktikan apakah tersangka atau terdakwa melakukan atau terlibat perbuatan/tindak pidana tertentu; melainkan meliputi juga pembuktian bahwa suatu perbuatan/tindak pidana adalah benarbenar terjadi. Dalam konteks pembuktian apakah suatu perbuatan/tindak pidana benar-benar terjadi; dan pembuktian apakah tersangka atau terdakwa benar-benar melakukan atau terlibat perbuatan/tindak pidana dimaksud, peran saksi alibi menjadi penting, meskipun ia tidak mendengar sendiri, ia tidak meIihat sendiri, dan ia tidak mengalami sendiri adanya perbuatan/tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa;
Perumusan saksi dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27 KUHAP tidak meliputi pengertian saksi alibi, dan secara umum mengingkari pula keberadaan jenis saksi 89 lain yang dapat digolongkan sebagai saksi yang menguntungkan (a de charge) bagi tersangka atau terdakwa, antara lain, saksi yang kesaksiannya dibutuhkan untuk mengklarifikasi kesaksian saksi-saksi sebelumnya;
Oleh karena itu, menurut MK, arti penting saksi bukan terletak pada apakah dia melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana, melainkan pada relevansi kesaksiannya dengan perkara pidana yang sedang diproses;
Terkait dengan permasalahan siapa pihak yang memiliki kewenangan untuk menilai apakah saksi yang diajukan tersangka atau terdakwa memiliki relevansi dengan sangkaan atau dakwaan, MK berpendapat bahwa penyidik tidak dibenarkan menilai keterangan ahli dan/atau saksi yang menguntungkan tersangka atau terdakwa, sebelum benar-benar memanggil dan memeriksa ahli dan/atau saksi yang bersangkutan;
MK menilai, kewajiban penyidik untuk memanggil dan memeriksa saksi yang menguntungkan bagi tersangka tidak berpasangan dengan kewenangan penyidik untuk menilai apakah saksi yang diajukan memiliki relevansi atau tidak dengan perkara pidana yang disangkakan, sebelum saksi dimaksud dipanggil dan diperiksa (didengarkan kesaksiannya). Begitu pula dengan kewenangan jaksa penuntut umum dan hakim untuk menilai relevansi keterangan saksi baru dapat dilakukan setelah dilakukan pemanggilan dan pemeriksaan saksi yang diajukan tersangka atau terdakwa, untuk selanjutnya menentukan apakah tersangka memenuhi semua unsur tindak pidana dan statusnya layak ditingkatkan menjadi terdakwa;
Menurut MK, ketentuan pemanggilan serta pemeriksaan saksi dan/atau ahli yang menguntungkan bagi tersangka atau terdakwa, sebagaimana diatur dalam Pasal 65 juncto Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP, harus ditafsirkan dapat dilakukan tidak hanya dalam tahap persidangan di pengadilan, tetapi juga dalam tahap penyidikan. Menegasikan hak tersangka atau terdakwa untuk mengajukan (memanggil dan memeriksa) saksi dan/atau ahli yang menguntungkan bagi diri tersangka atau terdakwa pada tahap penyidikan, dan hanya memanggil saksi yang menguntungkan pada tahap pemeriksaan di muka pengadilan saja, merupakan pelanggaran terhadap Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; Pengajuan saksi dan/atau ahli, yang menjadi hak tersangka atau terdakwa, di sisi lain merupakan kewajiban bagi penyidik, penuntut umum, maupun hakim untuk memanggil dan memeriksa saksi dan/atau ahli a quo.
Hal demikian adalah bagian sekaligus penerapan prinsip due process of law dalam proses peradilan pidana, dan upaya mewujudkan kepastian hukum yang adil dalam sebuah negara hukum. Namun demikian, harus tetap diperhatikan bahwa pengajuan saksi atau ahli yang menguntungkan bagi tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan pidana bukan untuk menghalangi ditegakkannya hukum pidana. Meskipun hak tersangka atau terdakwa dilindungi oleh hukum acara pidana namun tetap harus diperhatikan batas-batas kewajaran dan juga kepentingan hukum masyarakat yang diwakili oleh negara;
Dasar Hukum :
Putusan MK Nomor 65/PUU-VIII/2010, tanggal 8 Agustus 2011
Rumah Adhyaksa
Download = Putusan MK Nomor 65/PUU-VIII/2010