PUTUSAN MK Nomor 25/PUU-XIV/2016, 25 Januari 2017
Permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor)
Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor “ setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara …. “
Pasal 3 UU Tipikor ” setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara …. “
Amar Putusan
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
Menyatakan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Pendapat Mahkamah
Bahwa Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor telah dimohonkan pengujian dan telah diputus Mahkamah dalam Putusan Nomor 003/PUU-IV/2006, bertanggal 25 Juli 2006, sehingga dalam hal ini berlaku ketentuan Pasal 60 UU MK, yaitu bahwa terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang-Undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali, kecuali jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda. Untuk itu perlu dipertimbangkan terlebih dahulu apakah permohonan a quo ne bis in idem ataukah tidak.
Bahwa dasar pengujian yang digunakan permohonan Nomor 003/PUU-IV/2006 adalah Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sedangkan dalam permohonan a quo menggunakan juga Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945, sehingga terdapat perbedaan dasar pengujian konstitusionalitas dengan permohonan Nomor 003/PUU-IV/2006. Berdasarkan pertimbangan tersebut serta dikaitkan dengan Pasal 60 ayat (2) UU MK, Mahkamah menilai permohonan a quo tidak ne bis in idem sehingga selanjutnya Mahkamah memeriksa pokok permohonan a quo.
Bahwa kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor sebagaimana disebutkan di atas pernah diputus Mahkamah dalam Putusan Nomor 003/PUU-IV/2006, bertanggal 25 Juli 2006, dengan menyatakan tidak bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sepanjang ditafsirkan sesuai dengan tafsiran Mahkamah (conditionally constitutional), yakni bahwa unsur kerugian negara harus dibuktikan dan harus dapat dihitung, meskipun sebagai perkiraan atau meskipun belum terjadi.
Bahwa setelah Putusan Mahkamah Nomor 003/PUU-IV/2006, pembentuk Undang-Undang mengundangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Administrasi Pemerintahan) yang di dalamnya memuat ketentuan antara lain : Pasal 20 ayat (4) mengenai pengembalian kerugian negara akibat kesalahan administratif yang terjadi karena adanya unsur penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintahan; Pasal 21 mengenai kompetensi absolut peradilan tata usaha negara untuk memeriksa ada atau tidak adanya dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan; Pasal 70 ayat (3) mengenai pengembalian uang ke kas Negara karena keputusan yang mengakibatkan pembayaran dari uang negara dinyatakan tidak sah; dan Pasal 80 ayat (4) mengenai pemberian sanksi administratif berat kepada pejabat pemerintahan karena melanggar ketentuan yang menimbulkan kerugian negara.
Dengan demikian berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, maka dengan adanya UU Administrasi Pemerintahan, kesalahan administrative yang mengakibatkan kerugian negara dan adanya unsur penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintahan tidak selalu dikenai tindak pidana korupsi. Demikian juga dengan penyelesaiannya yang tidak selalu dengan cara menerapkan hukum pidana, bahkan dapat dikatakan dalam penyelesaian kerugian negara, UU Administrasi Pemerintahan tampaknya ingin menegaskan bahwa penerapan sanksi pidana sebagai upaya terakhir (ultimum remedium);
Bahwa dengan keberadaan UU Administrasi Pemerintahan dikaitkan dengan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (3) UU Tipikor menurut Mahkamah menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma penerapan unsur merugikan keuangan negara dalam tindak pidana korupsi. Selama ini, berdasarkan Putusan Mahkamah Nomor 003/PUU-IV/2006 pemahaman kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor menyebabkan perbuatan yang akan dituntut di depan pengadilan bukan saja karena perbuatan tersebut “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara secara nyata” akan tetapi hanya “dapat” menimbulkan kerugian saja pun sebagai kemungkinan atau potential loss, jika unsur perbuatan tindak pidana korupsi dipenuhi, sudah dapat diajukan ke depan pengadilan. Dalam perkembangannya dengan lahirnya UU Administrasi Pemerintahan maka kerugian negara karena kesalahan administratif bukan merupakan unsur tindak pidana korupsi.
Kerugian negara menjadi unsur tindak pidana korupsi jika terdapat unsur melawan hukum dan penyalahgunaan kewenangan. Dalam hal adanya penyalahgunaan kewenangan, suatu perbuatan baru dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana korupsi apabila berimplikasi terhadap kerugian negara (kecuali untuk tindak pidana korupsi suap, gratifikasi atau pemerasan), pelaku diuntungkan secara melawan hukum, masyarakat tidak dilayani, dan perbuatan tersebut merupakan tindakan tercela.
Dengan demikian bila dikaitkan dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, maka penerapan unsur merugikan keuangan negara telah bergeser dengan menitikberatkan pada adanya akibat, tidak lagi hanya perbuatan. Dengan perkataan lain kerugian Negara merupakan implikasi dari: 1) adanya perbuatan melawan hukum yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor dan 2) penyalahgunaan kewenangan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU Tipikor.
Berdasarkan hal tersebut menurut Mahkamah unsur merugikan keuangan negara tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potential loss) namun harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss) untuk dapat diterapkan dalam tindak pidana korupsi;
Bahwa pencantuman kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor membuat delik dalam kedua pasal tersebut menjadi delik formil. Hal itu menurut Mahkamah dalam praktik seringkali disalahgunakan untuk menjangkau banyak perbuatan yang diduga merugikan keuangan negara, termasuk terhadap kebijakan atau keputusan diskresi atau pelaksanaan asas freies Ermessen yang diambil bersifat mendesak dan belum ditemukan landasan hukumnya, sehingga seringkali terjadi kriminalisasi dengan dugaan terjadinya penyalahgunaan wewenang.
Demikian juga terhadap kebijakan yang terkait dengan bisnis namun dipandang dapat merugikan keuangan negara maka dengan pemahaman kedua pasal tersebut sebagai delik formil seringkali dikenakan tindak pidana korupsi. Kondisi tersebut tentu dapat menyebabkan pejabat publik takut mengambil suatu kebijakan atau khawatir kebijakan yang diambil akan dikenakan tindak pidana korupsi, sehingga di antaranya akan berdampak pada stagnasi proses penyelenggaraan negara, rendahnya penyerapan anggaran, dan terganggunya pertumbuhan investasi.
Kriminalisasi kebijakan terjadi karena terdapat perbedaan pemaknaan kata “dapat” dalam unsur merugikan keuangan negara dalam tindak pidana korupsi oleh aparat penegak hukum, sehingga seringkali menimbulkan persoalan mulai dari perhitungan jumlah kerugian negara yang sesungguhnya sampai kepada lembaga manakah yang berwenang menghitung kerugian negara.
Oleh karena dipraktikkan secara berbeda-beda menurut Mahkamah pencantuman kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor menimbulkan ketidakpastian hukum dan telah secara nyata bertentangan dengan jaminan bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
Selain itu, menurut Mahkamah kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor juga bertentangan dengan prinsip perumusan tindak pidana yang harus memenuhi prinsip hukum harus tertulis (lex scripta), harus ditafsirkan seperti yang dibaca (lex stricta), dan tidak multitafsir (lex certa), oleh karenanya bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Bahwa penerapan unsur merugikan keuangan dengan menggunakan konsepsi actual loss menurut Mahkamah lebih memberikan kepastian hukum yang adil dan bersesuaian dengan upaya sinkronisasi dan harmonisasi instrument hukum nasional dan internasional, seperti dengan UU Administrasi Pemerintahan sebagaimana diuraikan dalam paragraf [3.10.2] dan paragraf [3.10.3] di atas, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara) dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK) serta Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003 (United Nation Convention Against Corruption, 2003) yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara dan Pasal 1 angka 15 UU BPK mendefiniskan, “Kerugian negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”.
Berdasarkan ketentuan tersebut konsepsi kerugian negara yang dianut adalah konsepsi kerugian negara dalam arti delik materiil, yakni suatu perbuatan dapat dikatakan merugikan keuangan Negara dengan syarat harus adanya kerugian negara yang benar-benar nyata atau aktual. Konsepsi tersebut sebenarnya sama dengan penjelasan kalimat “secara nyata telah ada kerugian negara” yang tercantum dalam Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasannya yang menyatakan sebagai kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.
Selain itu, agar tidak menyimpang dari semangat Konvensi PBB Anti Korupsi maka ketika memasukkan unsur kerugian negara dalam delik korupsi, kerugian negara tersebut harus benar-benar sudah terjadi atau nyata. Hal ini dikarenakan delik korupsi yang terdapat dalam Konvensi PBB Anti Korupsi telah diuraikan secara jelas meliputi suap, penggelapan dalam jabatan, memperdagangkan pengaruh, penyalahgunaan jabatan, pejabat publik memperkaya diri secara tidak sah, suap di sektor swasta, penggelapan dalam perusahaan swasta, pencucian uang hasil kejahatan, menyembunyikan adanya kejahatan korupsi, dan menghalang-halangi proses peradilan.
Bahwa berdasarkan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 dan memperhatikan perkembangan pengaturan dan penerapan unsur merugikan keuangan negara sebagaimana diuraikan di atas, terdapat alasan yang mendasar bagi Mahkamah untuk mengubah penilaian konstitusionalitas dalam putusan sebelumnya, karena penilaian sebelumnya telah nyata secara berulang-ulang justru menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan dalam pemberantasan korupsi. Dengan demikian kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 seperti yang didalilkan oleh para Pemohon beralasan menurut hukum;
Bahwa frasa “atau orang lain atau suatu korporasi” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor menurut Mahkamah berbeda dengan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor karena merupakan rumusan yang bersifat alternatif dalam rangka untuk menjangkau juga modus tindak pidana dalam hal hasil korupsi misalnya disembunyikan kepada orang lain atau suatu korporasi.
Oleh karena itu, walaupun pelaku tidak memperkaya diri sendiri atau menguntungkan diri sendiri namun apabila melakukan perbuatan melawan hokum atau menyalahgunakan kewenangan yang merugikan keuangan negara dan dalam hal ini orang lain atau suatu korporasi diuntungkan atau bertambah kekayaannya, dikenai tindak pidana korupsi.
Terkait hal ini Mahkamah perlu menegaskan bahwa terlepas dari pada penggunaan hasil korupsi untuk kepentingan pelaku sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, akan tetapi nyatanya korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas serta dampak dari besaran nilai kerugian negara yang sangat berpengaruh terhadap terganggunya pembangunan dan perekonomian negara/daerah, oleh karenanya setiap tindak pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa atau biasa disebut sebagai perbuatan yang bersifat extra ordinary crime.
Berdasarkan hal tersebut, dalil para Pemohon terhadap frasa “atau orang lain atau suatu korporasi” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor tidak beralasan menurut hukum.
Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil-dalil para Pemohon beralasan menurut hokum untuk sebagian.
Dasar Hukum :
PUTUSAN MK Nomor 25/PUU-XIV/2016, 25 Januari 2017
Pendapat Mahkamah Konstitusi yang berbeda, dalam Putusan sebelumnya Nomor 003/PUU-IV/2006 tentang kata “ dapat “ pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Menimbang bahwa Pasal 2 ayat (1) UU PTPK mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
(a) unsur perbuatan melawan hukum;
(b) unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
(c) unsur dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
Menimbang bahwa dengan memperhatikan seluruh argumen yang disampaikan oleh semua pihak sebagaimana tersebut di atas dikaitkan dengan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, maka persoalan pokok yang harus dijawab adalah :
(1) Apakah pengertian kata ”dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK yang pengertiannya dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) bahwa dengan penambahan kata “dapat” tersebut menjadikan tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 ayat (1) a quo menjadi rumusan delik formil;
(2) Apakah dengan pengertian sebagaimana dijelaskan pada butir 1 tersebut di atas, frasa ”dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, yang diartikan baik kerugian yang nyata (actual loss) maupun hanya yang bersifat potensial atau berupa kemungkinan kerugian (potential loss), merupakan unsur yang tidak perlu dibuktikan atau harus dibuktikan;
Menimbang bahwa kedua pertanyaan tersebut akan dijawab dengan pemahaman bahwa kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK menyebabkan perbuatan yang akan dituntut di depan pengadilan, bukan saja karena perbuatan tersebut “merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara secara nyata”, akan tetapi hanya “dapat” menimbulkan kerugian saja pun sebagai kemungkinan atau potential loss, jika unsur perbuatan tindak pidana korupsi dipenuhi, sudah dapat diajukan ke depan pengadilan.
Kata “dapat” tersebut harus dinilai pengertiannya menurut Penjelasan Pasal 2 ayat (1) tersebut di atas, yang menyatakan bahwa kata ”dapat” tersebut sebelum frasa ”merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, menunjukkan bahwa tindak pidana tersebut merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi, cukup dengan dipenuhinya unsur perbuatan yang dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat. Karena itu Mahkamah dapat menerima penjelasan Pasal 2 ayat (1) sepanjang menyangkut kata ”dapat” sebelum frasa ”merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”;
Menimbang bahwa Mahkamah berpendapat, kerugian yang terjadi dalam tindak pidana korupsi, terutama yang berskala besar, sangatlah sulit untuk dibuktikan secara tepat dan akurat. Ketepatan yang dituntut sedemikian rupa, akan menimbulkan keraguan, apakah jika satu angka jumlah kerugian diajukan dan tidak selalu dapat dibuktikan secara akurat, namun kerugian telah terjadi, akan berakibat pada terbukti tidaknya perbuatan yang didakwakan.
Hal demikian telah mendorong antisipasi atas akurasi kesempurnaan pembuktian, sehingga menyebabkan dianggap perlu mempermudah beban pembuktian tersebut. Dalam hal tidak dapat diajukan bukti akurat atas jumlah kerugian nyata atau perbuatan yang dilakukan adalah sedemikian rupa bahwa kerugian negara dapat terjadi, telah dipandang cukup untuk menuntut dan memidana pelaku, sepanjang unsur dakwaan lain berupa unsur memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi dengan cara melawan hukum (wederrechtelijk) telah terbukti.
Karena, tindak pidana korupsi digolongkan oleh undang-undang a quo sebagai delik formil. Dengan demikian, kategori tindak pidana korupsi digolongkan sebagai delik formil, di mana unsur-unsur perbuatan harus telah dipenuhi, dan bukan sebagai delik materil, yang mensyaratkan akibat perbuatan berupa kerugian yang timbul tersebut harus telah terjadi. Kata “dapat” sebelum frasa ”merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, dapat dilihat dalam arti yang sama dengan kata “dapat” yang mendahului frasa “membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang”, sebagaimana termuat dalam Pasal 387 KUHP.
Delik demikian dipandang terbukti, kalau unsur perbuatan pidana tersebut telah terpenuhi, dan akibat yang dapat terjadi dari perbuatan yang dilarang dan diancam pidana tersebut, tidak perlu harus telah nyata terjadi;
Menimbang bahwa menurut Mahkamah hal demikian tidaklah menimbulkan ketidakpastian hukum (onrechtszekerheid) yang bertentangan dengan konstitusi sebagaimana yang didalilkan Pemohon. Karena, keberadaan kata ”dapat” sama sekali tidak menentukan faktor ada atau tidaknya ketidakpastian hukum yang menyebabkan seseorang tidak bersalah dijatuhi pidana korupsi atau sebaliknya orang yang melakukan tindak pidana korupsi tidak dapat dijatuhi pidana;
Menimbang bahwa dengan asas kepastian hukum (rechtszekerheid) dalam melindungi hak seseorang, hubungan kata “dapat” dengan “merugikan keuangan negara” tergambarkan dalam dua hubungan yang ekstrim: (1) nyata-nyata merugikan negara atau (2) kemungkinan dapat menimbulkan kerugian. Hal yang terakhir ini lebih dekat dengan maksud mengkualifikasikan delik korupsi menjadi delik formil.
Di antara dua hubungan tersebut sebenarnya masih ada hubungan yang ”belum nyata terjadi”, tetapi dengan mempertimbangkan keadaan khusus dan kongkret di sekitar peristiwa yang terjadi, secara logis dapat disimpulkan bahwa suatu akibat yaitu kerugian negara akan terjadi. Untuk mempertimbangkan keadaan khusus dan kongkret sekitar peristiwa yang terjadi, yang secara logis dapat disimpulkan kerugian negara terjadi atau tidak terjadi, haruslah dilakukan oleh ahli dalam keuangan negara, perekonomian negara, serta ahli dalam analisis hubungan perbuatan seseorang dengan kerugian.
Menimbang bahwa dengan adanya penjelasan yang menyatakan bahwa kata ”dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, kemudian mengkualifikasikannya sebagai delik formil, sehingga adanya kerugian negara atau perekonomian negara tidak merupakan akibat yang harus nyata terjadi, Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian ditafsirkan bahwa unsur kerugian negara harus dibuktikan dan harus dapat dihitung, meskipun sebagai perkiraan atau meskipun belum terjadi.
Kesimpulan demikian harus ditentukan oleh seorang ahli di bidangnya. Faktor kerugian, baik secara nyata atau berupa kemungkinan, dilihat sebagai hal yang memberatkan atau meringankan dalam penjatuhan pidana, sebagaimana diuraikan dalam Penjelasan Pasal 4, bahwa pengembalian kerugian negara hanya dapat dipandang sebagai faktor yang meringankan. Oleh karenanya persoalan kata ”dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, lebih merupakan persoalan pelaksanaan dalam praktik oleh aparat penegak hukum, dan bukan menyangkut konstitusionalitas norma;
Menimbang dengan demikian Mahkamah berpendapat bahwa frasa ”dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, tidaklah bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sepanjang ditafsirkan sesuai dengan tafsiran Mahkamah di atas (conditionally constitutional);
Menimbang bahwa oleh karena kata ”dapat” sebagaimana uraian pertimbangan yang dikemukakan di atas, tidak dianggap bertentangan dengan UUD 1945, dan justru diperlukan dalam rangka penanggulangan tindak pidana korupsi, maka permohonan Pemohon tentang hal itu tidak beralasan dan tidak dapat dikabulkan;
Menimbang pula bahwa dengan disahkan atau diratifikasinya UN Convention Against Corruption dengan UU Nomor 7 Tahun 2006, dalam konvensi mana kerugian negara tidak mutlak merupakan unsur tindak pidana korupsi (it shall not be necessary), tetapi harus melibatkan public official, maka Mahkamah berpendapat unsur ”barang siapa” dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut harus juga ditafsirkan dalam kaitan dengan perbuatan public official. Indonesia, sebagai negara pihak, sebaiknya segera menyesuaikan dengan cara melakukan perubahan atas UU PTPK yang didasarkan atas kajian konseptual dan komprehensif dalam satu kesatuan system hukum berdasarkan UUD 1945 ;
Rumah Adhyaksa
Download = PUTUSAN MK Nomor 25/PUU-XIV/2016