Diucapkan dalam Sidang pada hari Rabu, tanggal 25 Januari 2017. Terkait dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Data Putusan
Detail Putusan | |
---|---|
Jenis | Putusan Mahkamah Konstitusi |
Nomor | 25/PUU-XIV/2016 |
Tahun | 2016 |
Diputuskan dalam sidang tanggal | 25 Januari 2017 |
Para Pemohon | (1) Firdaus S.T., M.T., (2) Drs. H. Yulius Nawawi, (3) Ir. H. Imam Mardi Nugroho, (4) Ir. H. A. Hasdullah, M.Si. (5) H. Sudarno Eddi, S.H., M.H., (6) Jamaludin Masuku, S.H. dan (7) Jempin Marbun, S.H. |
Penerima Kuasa dari Pemohon | Heru Widodo, S.H., M.Hum., Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., M. Rudjito, S.H., LL.M., Ignatius Supriyadi, S.H., Supriyadi, S.H., Zainab Musyarrafah, S.H., Andi Ryza Fardiansyah, S.H., Hartanto, S.H., M. Ikhsan, S.H., Dhimas Pradana, S.H., Aan Sukirman, S.H., dan Prima Rinaldo, S.H., M.H., para Pengacara/Konsultan Hukum pada kantor HERU WIDODO LAW OFFICE (“HWL”), Legal Solution and Beyond, yang beralamat di Menteng Square AO-12 Lantai 3, Jalan Matraman Raya Nomor 30-E, Pegangsaan, Menteng, Jakarta, 10320, |
Hakim Ketua | Arief Hidayat |
Hakim Anggota | (1) Anwar Usman, (2) Maria Farida Indrati, (3) I Dewa Gede Palguna, (4) Suhartoyo, (5) Aswanto, (6) Manahan M.P Sitompul, (7) Patrialis Akbar, dan (8) Wahiduddin Adams, |
Panitera Pengganti | Syukri Asy’ari |
Permohonan Pemohon | Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi |
Amar Putusan Mengadili Terkait | Kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi |
Download file | Klik Disini |
DUDUK PERKARA
Permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
POKOK – POKOK PENDAPAT MAHKAMAH
Bahwa Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor telah dimohonkan pengujian dan telah diputus Mahkamah dalam Putusan Nomor 003/PUU-IV/2006, bertanggal 25 Juli 2006, sehingga dalam hal ini berlaku ketentuan Pasal 60 UU MK, yaitu bahwa terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang-Undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali, kecuali jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda. Untuk itu perlu dipertimbangkan terlebih dahulu apakah permohonan a quo ne bis in idem ataukah tidak.
Bahwa dasar pengujian yang digunakan permohonan Nomor 003/PUU-IV/2006 adalah Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sedangkan dalam permohonan a quo menggunakan juga Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945, sehingga terdapat perbedaan dasar pengujian konstitusionalitas dengan permohonan Nomor 003/PUU-IV/2006. Berdasarkan pertimbangan tersebut serta dikaitkan dengan Pasal 60 ayat (2) UU MK, Mahkamah menilai permohonan a quo tidak ne bis in idem sehingga selanjutnya Mahkamah memeriksa pokok permohonan a quo.
Bahwa kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor sebagaimana disebutkan di atas pernah diputus Mahkamah dalam Putusan Nomor 003/PUU-IV/2006, bertanggal 25 Juli 2006, dengan menyatakan tidak bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sepanjang ditafsirkan sesuai dengan tafsiran Mahkamah (conditionally constitutional), yakni bahwa unsur kerugian negara harus dibuktikan dan harus dapat dihitung, meskipun sebagai perkiraan atau meskipun belum terjadi.
Bahwa setelah Putusan Mahkamah Nomor 003/PUU-IV/2006, pembentuk Undang-Undang mengundangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Administrasi Pemerintahan) yang di dalamnya memuat ketentuan antara lain; Pasal 20 ayat (4) mengenai pengembalian kerugian negara akibat kesalahan administratif yang terjadi karena adanya unsur penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintahan; Pasal 21 mengenai kompetensi absolut peradilan tata usaha negara untuk memeriksa ada atau tidak adanya dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan; Pasal 70 ayat (3) mengenai pengembalian uang ke kas Negara karena keputusan yang mengakibatkan pembayaran dari uang negara dinyatakan tidak sah; dan Pasal 80 ayat (4) mengenai pemberian sanksi administratif berat kepada pejabat pemerintahan karena melanggar ketentuan yang menimbulkan kerugian negara. Dengan demikian berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, maka dengan adanya UU Administrasi Pemerintahan, kesalahan administrative yang mengakibatkan kerugian negara dan adanya unsur penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintahan tidak selalu dikenai tindak pidana korupsi. Demikian juga dengan penyelesaiannya yang tidak selalu dengan cara menerapkan hukum pidana, bahkan dapat dikatakan dalam penyelesaian kerugian negara, UU Administrasi Pemerintahan tampaknya ingin menegaskan bahwa penerapan sanksi pidana sebagai upaya terakhir (ultimum remedium);
Bahwa dengan keberadaan UU Administrasi Pemerintahan dikaitkan dengan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (3) UU Tipikor menurut Mahkamah menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma penerapan unsur merugikan keuangan negara dalam tindak pidana korupsi. Selama ini, berdasarkan Putusan Mahkamah Nomor 003/PUU-IV/2006 pemahaman kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor menyebabkan perbuatan yang akan dituntut di depan pengadilan bukan saja karena perbuatan tersebut “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara secara nyata” akan tetapi hanya “dapat” menimbulkan kerugian saja pun sebagai kemungkinan atau potential loss, jika unsur perbuatan tindak pidana korupsi dipenuhi, sudah dapat diajukan ke depan pengadilan. Dalam perkembangannya dengan lahirnya UU Administrasi Pemerintahan maka kerugian negara karena kesalahan administratif bukan merupakan unsur tindak pidana korupsi. Kerugian negara menjadi unsur tindak pidana korupsi jika terdapat unsur melawan hukum dan penyalahgunaan kewenangan. Dalam hal adanya penyalahgunaan kewenangan, suatu perbuatan baru dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana korupsi apabila berimplikasi terhadap kerugian negara (kecuali untuk tindak pidana korupsi suap, gratifikasi atau pemerasan), pelaku diuntungkan secara melawan hukum, masyarakat tidak dilayani, dan perbuatan tersebut merupakan tindakan tercela. Dengan demikian bila dikaitkan dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, maka penerapan unsur merugikan keuangan negara telah bergeser dengan menitikberatkan pada adanya akibat, tidak lagi hanya perbuatan. Dengan perkataan lain kerugian Negara merupakan implikasi dari: 1) adanya perbuatan melawan hukum yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor dan 2) penyalahgunaan kewenangan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU Tipikor. Berdasarkan hal tersebut menurut Mahkamah unsur merugikan keuangan negara tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potential loss) namun harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss) untuk dapat diterapkan dalam tindak pidana korupsi;
Bahwa pencantuman kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor membuat delik dalam kedua pasal tersebut menjadi delik formil. Hal itu menurut Mahkamah dalam praktik seringkali disalahgunakan untuk menjangkau banyak perbuatan yang diduga merugikan keuangan negara, termasuk terhadap kebijakan atau keputusan diskresi atau pelaksanaan asas freies Ermessen yang diambil bersifat mendesak dan belum ditemukan landasan hukumnya, sehingga seringkali terjadi kriminalisasi dengan dugaan terjadinya penyalahgunaan wewenang. Demikian juga terhadap kebijakan yang terkait dengan bisnis namun dipandang dapat merugikan keuangan negara maka dengan pemahaman kedua pasal tersebut sebagai delik formil seringkali dikenakan tindak pidana korupsi. Kondisi tersebut tentu dapat menyebabkan pejabat publik takut mengambil suatu kebijakan atau khawatir kebijakan yang diambil akan dikenakan tindak pidana korupsi, sehingga di antaranya akan berdampak pada stagnasi proses penyelenggaraan negara, rendahnya penyerapan anggaran, dan terganggunya pertumbuhan investasi. Kriminalisasi kebijakan terjadi karena terdapat perbedaan pemaknaan kata “dapat” dalam unsur merugikan keuangan negara dalam tindak pidana korupsi oleh aparat penegak hukum, sehingga seringkali menimbulkan persoalan mulai dari perhitungan jumlah kerugian negara yang sesungguhnya sampai kepada lembaga manakah yang berwenang menghitung kerugian negara. Oleh karena dipraktikkan secara berbeda-beda menurut Mahkamah pencantuman kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor menimbulkan ketidakpastian hukum dan telah secara nyata bertentangan dengan jaminan bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Selain itu, menurut Mahkamah kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor juga bertentangan dengan prinsip perumusan tindak pidana yang harus memenuhi prinsip hukum harus tertulis (lex scripta), harus ditafsirkan seperti yang dibaca (lex stricta), dan tidak multitafsir (lex certa), oleh karenanya bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Bahwa penerapan unsur merugikan keuangan dengan menggunakan konsepsi actual loss menurut Mahkamah lebih memberikan kepastian hukum yang adil dan bersesuaian dengan upaya sinkronisasi dan harmonisasi instrument hukum nasional dan internasional, seperti dengan UU Administrasi Pemerintahan sebagaimana diuraikan dalam paragraf [3.10.2] dan paragraf [3.10.3] di atas, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara) dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK) serta Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003 (United Nation Convention Against Corruption, 2003) yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara dan Pasal 1 angka 15 UU BPK mendefiniskan, “Kerugian negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”. Berdasarkan ketentuan tersebut konsepsi kerugian negara yang dianut adalah konsepsi kerugian negara dalam arti delik materiil, yakni suatu perbuatan dapat dikatakan merugikan keuangan Negara dengan syarat harus adanya kerugian negara yang benar-benar nyata atau aktual. Konsepsi tersebut sebenarnya sama dengan penjelasan kalimat “secara nyata telah ada kerugian negara” yang tercantum dalam Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasannya yang menyatakan sebagai kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk. Selain itu, agar tidak menyimpang dari semangat Konvensi PBB Anti Korupsi maka ketika memasukkan unsur kerugian negara dalam delik korupsi, kerugian negara tersebut harus benar-benar sudah terjadi atau nyata. Hal ini dikarenakan delik korupsi yang terdapat dalam Konvensi PBB Anti Korupsi telah diuraikan secara jelas meliputi suap, penggelapan dalam jabatan, memperdagangkan pengaruh, penyalahgunaan jabatan, pejabat publik memperkaya diri secara tidak sah, suap di sektor swasta, penggelapan dalam perusahaan swasta, pencucian uang hasil kejahatan, menyembunyikan adanya kejahatan korupsi, dan menghalang-halangi proses peradilan.
Bahwa berdasarkan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 dan memperhatikan perkembangan pengaturan dan penerapan unsur merugikan keuangan negara sebagaimana diuraikan di atas, terdapat alasan yang mendasar bagi Mahkamah untuk mengubah penilaian konstitusionalitas dalam putusan sebelumnya, karena penilaian sebelumnya telah nyata secara berulang-ulang justru menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan dalam pemberantasan korupsi. Dengan demikian kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 seperti yang didalilkan oleh para Pemohon beralasan menurut hukum;
Bahwa frasa “atau orang lain atau suatu korporasi” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor menurut Mahkamah berbeda dengan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor karena merupakan rumusan yang bersifat alternatif dalam rangka untuk menjangkau juga modus tindak pidana dalam hal hasil korupsi misalnya disembunyikan kepada orang lain atau suatu korporasi. Oleh karena itu, walaupun pelaku tidak memperkaya diri sendiri atau menguntungkan diri sendiri namun apabila melakukan perbuatan melawan hokum atau menyalahgunakan kewenangan yang merugikan keuangan negara dan dalam hal ini orang lain atau suatu korporasi diuntungkan atau bertambah kekayaannya, dikenai tindak pidana korupsi. Terkait hal ini Mahkamah perlu menegaskan bahwa terlepas dari pada penggunaan hasil korupsi untuk kepentingan pelaku sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, akan tetapi nyatanya korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas serta dampak dari besaran nilai kerugian negara yang sangat berpengaruh terhadap terganggunya pembangunan dan perekonomian negara/daerah, oleh karenanya setiap tindak pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa atau biasa disebut sebagai perbuatan yang bersifat extra ordinary crime. Berdasarkan hal tersebut, dalil para Pemohon terhadap frasa “atau orang lain atau suatu korporasi” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor tidak beralasan menurut hukum.
Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil-dalil para Pemohon beralasan menurut hokum untuk sebagian.
AMAR PUTUSAN
Mengadili :
- Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
- Menyatakan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
- Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
- Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.